PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber
daya manusia merupakan aset penting dalam pencapaian tujuan suatu perusahaan
karena dapat menentukan keberhasilan perusahaan. Semua perusahaan tentunya
sangat membutuhkan sumber daya manusia yang berkinerja baik dan produktivitas
yang optimal agar dapat mencapai tujuannya. Sikap dan tindakan dari setiap
sumber daya manusia dalam perusahaan merupakan gambaran kinerjanya dan akan
berpengaruh pada produktivitas perusahaan secara keseluruhan. Jadi untuk
tercapainya tujuan perusahaan, kinerja dari setiap karyawan perlu ditingkatkan
dan dipelihara.
Keberadaan konflik dalam
suatu organisasi tidak dapat dihindarkan, dengan kata lain bahwa konflik selalu
hadir dan tidak dapat dielakkan. Konflik didefenisikan sebagai suatu proses
interaksi sosial dimana dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau lebih,
bebeda atau bertentangan dalam pendapat atau tujuan mereka, perlu disadari
bahwa merendahnya produktivitas keja bisa terjadi karena masalah keperilakuan.
Setiap karyawan memiliki
perasaan, fikiran, inisiatif dan kreativitas serta perilaku dan kebutuhan yang
relative berbeda satu sama lain, sehingga tidak menutup kemungkinan didalam
melakukan aktivitasnya akan ditemukan berbagai persaingan atau bentrokan yang
dapat menimbulkan masalah, yang apabila dibiarkan akan berpengaruh terhadap
kinerja dari karyawan yang ada di perusahaan. atau berpengaruh lebih jauh
terhadap kinerja yang dimiliki karyawan. Para
manajer serta pimpinan organisasi, kurang lebih 25% dari waktu mereka dikonsentrasikan
untuk menangani konflik. Pernyataan tersebut mengarah pada tindakan-tindakan
efektif dan efisien yang perlu diambil oleh seorang pimpinan untuk
menyelesaikan konflik sebelum mempengaruhi produktivitas perusahaan.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian
Konflik
Konflik berasal dari
bahasa Latin: Confligo, terdiri dari dua kata yaitu “con” berarti bersama – sama
dan “fligo” yang berarti
pemogokan, penghancuran atau peremukan. Menurut
Garry Dessler (1989) dikatakan bahwa kata konflik diserap dari bahasa
Inggris, Conflict yang
berarti: pertarungan (a fight),
perbuatan kekerasan (struggle),
persengketaan (a controversy),
perlawanan yang aktif (active
opposition hostility).
Tabel 1.1 Definisi konflik menurut para ahli.
No. .
|
Menurut Ahli
|
Defini konflik
|
1.
|
Taquiri dalam Newstorm dan Davis, 1977
|
Merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku
dalam berbagai keadaan akibat munculnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi
dan pertentangan antara dua pihak atau lebih secara terus menerus.
|
2.
|
Robbin, 1996
|
Konflik organisasi ditentukan oleh persepsi individu
atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam
organisasi, maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya
jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka
hal tersebut telah menjadi kenyataan.
|
3.
|
Muchlas, 1999
|
Merupakan bentuk interaktif yang terjadi pada tingkatan
individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan individual yang
sangat dekat hubungannya dengan stress.
|
4.
|
Myers, 1982
|
Konflik berpusat pada beberapa penyebab utama, yaitu
tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber-sumber yang dibagikan, keputusan
yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat.
|
5.
|
Devito, 1995
|
Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang
satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam
level yang berbeda-beda.
|
Sumber : http://id.wikipedia.org/pengertian_konflik/ (diakses16 Oktober 2011)
Dari beberapa definisi di
atas, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah segala macam interaksi
pertentangan atau antogonistik antara dua atau lebih pihak. Dengan kata lain
konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain,
kelompok dengan kelompok lain pada level yang berbeda-beda karena beberapa alasan
atau penyebab utama, yaitu tujuan yang ingin dicapai, dan alokasi sumber – sumber
yang dibagikan. Disamping itu, sikap antagonistis dan kontroversi yang
ditunjukkan oleh seseorang dalam situasi dan peristiwa tertentu juga menjadi
pemicu munculnya konflik dalam suatu organisasi.
Jenis-jenis Konflik
Menurut Sukanto (1996) organisasi
dengan skala besar maupun kecil yang pernah mengalami dan menyelesaikan konflik
– konfliknya, setidaknya membagi jenis konflik menjadi 4 yaitu sebagai berikut:
1. Konflik
peranan yang terjadi di dalam diri seseorang (person-role conflict) di
mana peraturan yang berlaku tak dapat diterima oleh seseorang sehingga orang
tersebut memilih untuk tidak melaksanakan sesuatu sesuai dengan peraturan yang
berlaku tersebut.
2. Konflik
antar peranan (inter-role conflict) di mana orang menghadapi persoalan
karena dia menjabat dua atau lebih fungsi yang saling bertentangan seperti
seseorang yang menjadi mandor dalam perusahaan tetapi juga sebagai ketua
serikat pekerja.
3. Konflik
yang timbul karena seseorang harus memenuhi harapan beberapa orang (intersender
conflict), misalnya seorang rektor yang harus memenuhi permintaan dari
dekan-dekan fakultas yang berlainan atau dekan yang harus mengakomodir semua
kepentingan atau kebutuhan para ketua jurusan yang juga sangat bermacam-macam.
4. Konflik
yang timbul karena disampaikannya informasi yang saling bertentangan (intrasender
conflict).
Penyebab Konflik
Berdasarkan hasil
kesimpulan beberapa definisi tentang konflik yang telah paparkan di atas, konflik
sebagai sebuah situasi timbul karena adanya sebab yang mengkondisikannya. Menurut
Agus M Hardjana (1994) sebab – sebab umum yang sering menimbulkan
konflik dalam suatu organisasi antara lain:
1. Salah
pengertian, informasi atau berita yang tidak dikomunikasikan secara lengkap
atau utuh dapat menimbulkan konflik. Informasi yang lengkap dan jelas tetapi
tidak disampaikan tepat waktu juga dapat menimbulkan konflik. Dari sisi
penerima informasi atau pesan, semua pesan telah diterima secara komplit atau utuh,
jelas, tepat waktu, tetapi salah dalam memahami dan menterjemahkan informasi
yang diterima tersebut. Pengumuman tentang akan adanya pemadaman listrik di
suatu organisasi tidak sampai pada operator genset atau diesel penggerak
listrik pengganti akan menyebabkan terganggunya operasi mesin presensi on line atau bagian olah data di
departemen penelitian dan pengembangan.
2. Perbedaan
tujuan kerja karena perbedaan nilai hidup yang dianut. Orang yang bekerja
karena ingin mendapatkan upah atau gaji demi menghidupi ekonomi keluarga akan
sangat berbeda motivasi atau semangat dan cara kerjanya jika dibandingkan
dengan orang yang bekerja hanya karena ingin mengabdikan dirinya sebagai
panggilan hidup. Orang-orang yang secara materi sudah berkecukupan, bekerja
kadangkala hanya digunakan untuk memperoleh status sosial saja, sehingga
kondisi semacam ini memunculkan disorientasi kerja antara orang satu dengan
lainnya.
3. Perebutan
dan persaingan dalam hal fasilitas kerja dan suatu jabatan yang terbatas.
Konflik dapat muncul dalam situasi di mana orang-orang yang berkeinginan untuk
menduduki jabatan supervisor, manajer, direktur, sampai presiden direktur
sangat banyak sementara pospos jabatan yang ingin dituju sangatlah terbatas.
Perebutan/persaingan pos-pos jabatan seperti di atas sangat potensial
menimbulkan gesekan kepentingan. Keterbatasan fasilitas kendaraan dinas, alat
kerja seperti komputer, mesin ketik, kalkulator, dan tempat parkir juga bisa
menjadi perebutan dan saling menguasai satu sama lain.
4. Masalah
wewenang dan tanggungjawab. Jenis pekerjaan yang bermacam-macam dan saling memiliki
keterkaitan satu sama lain memungkinkan terjadinya lempar tanggungjawab atas pekerjaan
tertentu. Dalam organisasi yang besar dengan kompleksitas pekerjaan dan masalah
yang besar, batas-batas wewenang dan tanggungjawab antar lini atau bagian atau departemen
walaupun sudah jelas dan terstandar tetapi seringkali masih menyisakan
persoalan-persoalan yang di luar kebiasaan. Contoh nyata adalah bagian persuratan,
bagian distribusi, dan bagian pengemudi. Ketiga unit kerja dengan tugas dan
tanggungjawabnya masing-masing pada situasi tertentu bisa saling melempar
pekerjaan dalam hal pengiriman surat. Jika sudah terjadi demikian, maka
sebenarna konflik sudah terjadi walupun eksalasinya masih sangat sempit dan
sederhana. Akan tetapi bila kejadian ini terus terulang dan pimpinan tidak ada upaya
mengatasinya, maka bukan tidak mungkin konflik akan meluas yang menyebabkan terganggunya
pencapaian kinerja organisasi secara luas.
5. Penafsiran
yang berbeda atas suatu hal, perkara, dan peristiwa yang sama. Organisasi yang beranggotakan
orang-orang dengan berbagai latar belakang suku, agama, pendidikan, jenis kelamin,
dan usia memiliki tingkat heteroginitas yang sangat tinggi. Karena anggota organisasi
yang berbeda latar belakang, sudah barang tentu keinginan, harapan, sudut pandang,
ide, gagasan, dan tujuan setiap orang juga berbeda-beda pula. Perbedaan sudut pandang
terhadap suatu peristiwa antar individu memungkinkan munculnya pertentangan pendapat
yang bias menimbulkan konflik. Organisasi yang identik dengan birokrasi,
aturan, dan tata tertib memaksa tiap individu mematuhi dan menepati
aturan-aturan tersebut. Dalam menjalankan aturan dan tata tertib seorang pegawai
atau karyawan ada yang tidak sama antar pegawai yang satu dengan yang lain, hal
ini diakibatkan oleh perbedaan penafsiran, sudut pandang, dan interpretasi atas
peraturan yang ada.
6. Kurangnya
kerja sama antar pegawai, antara pegawai dengan pimpinan, dan antara pimpinan
dengan pimpinan dapat menyebabkan hasil kerja tidak optimal. Penyebab hasil
kerja yang tidak optimal tersebut seringkali dicarikan kambing hitam (scape
goat), saling menyalahkan, saling mencari pembenaran sendiri, bahkan saling
mencaci yang akhirnya menimbulkan konflik dalam organisasi.
7. Tidak
menaati tata tertib yang berlaku bagi semua anggota oraganisasi. Jika pada
kasus nomor 5 di atas orang melanggar tata tertib (tidak sengaja) karena
perbedaan penafsiran, dalam kasus pegawai yang tidak menaati tata tertib lebih
disebabkan karena sikap pegawai yang tidak disiplin. Sikap tidak disiplin yang
ditunjukkan oleh seorang pegawai karena adanya kecenderungan penyimpangan
perilaku yang dapat menimbulkan kecemburuan atau kekecewaan terhadap
pegawai-pegawai yang taat dan tertib dengan peraturan. Kecemburuan atau kekecewaan
inilah yang bisa menjadi penyulut timbulnya konflik dalam organisasi.
8. Ada
usaha untuk menguasai dan merugikan. Pada dasarnya setiap orang tidak ada yang
mau dikuasi, dijajah, disepelekan, dan di tindas harga diri dan eksistensinya
dalam pergaulan di level manapun. Organisasi yang di dalamnya terdapat
kelompok-kelompok orang seringkali ingin mencari pengaruh dan menunjukkan
superiroritasnya diantara kelompok-kelompok minoritas yang lain. Usaha kelompok
tertentu dalam organisasi untuk menguasai kelompok lain dengan tujuan mencari
keuntungan di satu sisi dan merugikan di sisi yang lain dapat memunculkan
situasi atau gejolak terutama kelompok yang merasa dirugikan. Gejolak yang muncul
inilah yang dapat membulkan konflik organisasi yang harus diredam dan dicarikan
penyelesaiannya oleh para manajer atau atau pimpinan.
9. Pelecehan
pribadi dan kedudukan. Orang yang pribadi dan kedudukannya dilecehkan merasa harga
dirinya di injak dan dan direndahkan. Apalagi orang yang melecehkan tersebut
secara hirarki tidak setara kedudukannya dibandingkan dengan orang yang
dilecehkan. Seorang yang pribadi dan kedudukannya diremehkan dan dihina orang
lain biasanya melakukan perlawanan. Kadangkala perlawanan melibatkan bawahan
masing yang berkonflik, sehingga cakupan konfliknya menjadi meluas.
10. Perubahan
dalam sasaran dan prosedur kerja. Pada dasarnya orang yang sudah berada pada posisi
nyaman (comfort zone) memiliki kecenderungan untuk memepertahankan
status quo alias tetap. Bagi orang
yang berada dalam wilayah nyaman, perubahan dianggap sebagai ancaman yang harus
dilawan. Perubahan hanya akan merugikan dirinya, baik dari sisi karir, kedudukan,
kewenangan, pestise, pengaruh maupun secara ekonomi.
Selain itu, jika dipandang
dari sumbernya konflik juga bisa timbul karena adanya beberapa sebab antara
lain:
1.
Konflik individu, timbul ketika seorang individu
sedang menghadapi pekerjaan yang tidak disukainya di satu sisi tetapi harus
dilakukannya pada sisi yang lain sebagai bentuk konsekuensi dari status dan
jenjang kepangkatan yang melekat pada dirinya. Selain itu pada situasi tertentu
seseorang akan mengalami konflik individu ketika target pekerjaan yang harus
diselesaikannya tidak didukung oleh kemampuan teknis yang dimilikinya karena faktor
pendidikan, usia, dan kesehatan.
2.
Konflik antar individu, timbul dalam suatu
organisasi akibat perbedaan latar belakang, etnis, suku, agama, tujuan, dan
kepribadian antar individu. Konflik semacam ini juga bisa muncul karena antar
individu dibedakan oleh peranan masing-masing dalam organisasi seperti direktur
dengan manajer, manajer dengan mandor, dan mandor dengan para buruh atau sebaliknya.
Perbedaan peran tentunya memunculkan perbedaan tujuan, orientasi, dan kepentingan
masing-masing.
3.
Konflik antara individu dengan kelompok, hal ini
terjadi karena individu tertentu seabagai bagian dari kelompok dalam suatu
organisasi tidak atau kurang bisa memberikan manfaat baik secara langsung
maupun tidak langsung sehingga dikucilkan dari pergaulan kelompok tersebut.
Perasaan dikucilkan, tidak dihargai, tidak dipandang atau dihormati seperti
individu yang lain menimbulkan konflik individu yang dapat mengganggu
integritas dan keseimbangan hubungan antar individu sehingga dapat merugikan
organisasi secara keseluruhan.
4.
Konflik antar kelompok, konflik ini terjadi
karena perbedaan kepentingan dan tujuan yang satu sama lain tidak ada yang mau
mengalah. Biasanya konflik antar kelompok ini muncul karena ingin saling
menguasai, yang mayoritas merasa lebih berhak menjadi pemimpin dan menentukan
tujuan kelompok tersebut. Sedangkan kelompok minoritas berasumsi bahwa dalam
kelompok tidak bolah ada superior dan inferior, semua memiliki hak dan
kewajiban yang sama, berhak atas perlakuan dan keadilan yang sama.
5.
Konflik antara kelompok dengan organisasi,
konflik ini timbul ketika organisasi menuntut target produktivitas terlalu
tinggi sedangkan para individu anggota organisasi hanya bisa memberikan terlalu
rendah. Seorang direktur ingin perusahaannya maju dengan tingkat produksi yang
optimal agar dicapai laba perusahaan secara optimal pula, sementara dari sisi manajer,
mandor, buruh atau karyawan berkeinginan bagaimana memperoleh gaji atau upah
yang setinggi-tingginya agar dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya.
6.
Konflik antar organisasi, timbul sebagai akibat
persaingan bisnis, persaingan memperoleh pengakuan atau pengaruh dari
masyarakat, kesalahpahaman antar individu anggota organisasi saja tetapi
mengakibatkan eskalasi masalahnya melibatkan masing-masing organisasi sehingga
pihak manajemen harus turun tangan. Dari sisi bisnis, perang harga, perebutan
pangsa pasar, pengembangan produk, dan kemajuan teknolgi menimbulkan konflik
sesame organisasi.
Penyebab terjadinya konflik dalam
organisasi menurut Mangkunegara (2001), yaitu :
1. Koordinasi kerja yang tidak dilakukan
2. Ketergantungan dalam pelaksanaan tugas
3. Tugas yang tidak jelas ( tidak ada deskripsi jabatan )
4. Perbedaan dalam otorisasi pekerjaan
5. Perbedaan dalam memahami tujuan organisasi
6. Perbedaan persepsi
7. Sistem kompetensi insentif (reward)
8. Strategi pemotivasian tidak tepat.
Tiga macam tipe konflik dasar, yaitu :
1. Konflik tujuan (Goal conflict), yang akan
terjadi apabila keadaan akhir yang diinginkan atau hasil-hasil yang diprefensi,
ternyata tidak sesuai satu sama lainnya.
Dalam konflik tujuan, ada 3 macam tipe dasar, yaitu :
a. Konflik “pendekatan-pendekatan” (Approach –
approach Conflict) Yaitu terjadi
apabila seseorang mempunyai pilihan antara dua macam alternatif atau lebih,
dengan hasil-hasil positif. Misalnya, apabila kita harus memilih antara dua
macam pekerjaan yang sama menariknya.
b. Konflik “menghindari-menghindari” (Avoidance-avoidance
Conflict) Yaitu terjadi apabila
seseorang harus memilih antara dua macam alternative atau lebih yang memiliki
dampak negatif.
c. Konflik “pendekatan-menghindari” (Approach-avoidance
Conflict) Yaitu terjadi apabila
seseorang harus memutuskan apakah ia akan melaksanakan sesuatu hal yang
mengandung dampak positif.
2. Konflik kognitif (Cognitive Conflict), yang
timbul apabila para individu menyadari bahwa ide-ide atau pemikiran mereka
tidak konsisten satu sama lainnya.
3. Konflik afektif (Affective Conflict), yaitu
konflik yang timbul apabila perasaan-perasaan atau emosi-emosi tidak sesuai
satu sama lain (Winardi, 2004).
Menurut Dalimunthe (2003) ada 2 jenis konflik, yaitu :
1. Konflik substantif yaitu merupakan perselisihan yang
berkaitan dengan tujuan kelompok, pengalokasian sumber daya dalam suatu
organisasi, distribusi kebijaksanaan dan prosedur, dan pembagian jabatan
pekerjaan.
2. Konflik emosional yaitu terjadi akibat adanya perasaan
marah, tidak percaya, tidak simpatik, takut dan penolakan, serta adanya
pertentangan antar pribadi (personality
clashes).
Kreitner dan Kinicki (2001) membedakan empat tipe
konflik, yaitu :
1. Personality conflict yaitu
konflik antar personal yang didorong oleh ketidak senangan atau ketidak cocokan
pribadi.
2. Value conflict adalah
konflik karena perbedaan pandangan atas tata nilai tertentu.
3. Intergroup conflict merupakan
pertentangan antar kelompok kerja, team dan departemen.
4. Cross-Cultural conflict merupakan pertentangan yang terjadi antar budaya yang
berbeda.
PEMBAHASAN
Terjadinya konflik dalam setiap perusahaan atau organisasi merupakan
sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini terjadi karena di satu sisi
orang-orang yang terlibat dalam organisasi mempunyai karakter, tujuan, visi,
maupun gaya berbeda-beda. Di sisi lain
adanya saling ketergantungan antara satu dengan yang lain yang menjadi karakter
setiap organisasi. Tidak semua konflik merugikan organisasi. Konflik yang
ditata dan dikendalikan dengan baik dapat menguntungkan organisasi sebagai suatu
kesatuan. Dalam menata konflik dalam organisasi diperlukan keterbukaan,
kesabaran serta kesadaran semua pihak yang terlibat maupun yang berkepentingan
dengan konflik yang terjadi dalam organisasi dibutuhakan kearifan dan manajemun
konflik yang tetap sehingga konflik dapat di arahkan ke arah yang tepat.
Konflik dan Produktivitas Kerja
Peranan manusia menjadi
penting, ketika berada dalam suatu organisasi. Mereka dibutuhkan untuk dapat
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang menjadi tujuan organisasi tersebut. Namun,
ketika seseorang atau beberapa karyawan memperoleh peran sering muncul
ketidakpuasan atas peran yang diberikan oleh organisasi kepada seseorang
ataupun ketika orang lain mendapatkan peran, yang menurutnya orang tersebut
“tidak layak” mendapatkannya. Munculnya konflik di dalam organisasi dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, dan konflik peran adalah salah satu faktor
yang dapat menurunkan performansi seseorang dalam melaksanakan tugas dan
pekerjaan di organisasi tersebut. Hubungan konflik peran pribadi dan
performansi dari seseorang dapat digambarkan dalam kurva berikut ini.
Konflik yang
tinggi menyebabkan performansi seseorang menjadi semakin rendah, sebaliknya semakin
rendah konflik yang terjadi menyebabkan performansi seseorang akan menjadi
lebih baik.Pada keadaan konflik yang tinggi (ekstrem), maka pimpinan atau
manajemen perlu memberikan stimulus pemecahan atau pendekatan konflik secara
tepat, ada beberapa metode dalam melakukan pendekatan konflik. Pada wilayah
mana konflik peran pribadi dapat dikelola untuk dapat memunculkan performansi
optimal bagi seseorang. Butuh manajemen konflik secara tepat dalam mengelola
konflik peran pribadi yang ada di dalam organisasi yang dipimpin oleh seorang
manajer (Agus M Hardjana, 1994).
Dampak yang Ditimbulkan dari Segi
Konflik
Dari segi dampak yang timbul, konflik dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu konflik fungsional dan konflik infungsional.
Konflik dikatakan fungsional apabila dampaknya dapat memberi manfaat atau
keuntungan bagi organisasi, sebaliknya disebut infungsional apabila dampaknya
justru merugikan organisasi. Konflik dapat menjadi fungsional apabila dikelola
dan dikendalikan dengan baik.
Contoh konflik yang
fungsional dengan kasus seorang manajer perusahaan yang menghadapi masalah
tentang bagaimana mengalokasikan dana untuk meningkatkan penjualan
masing-masing jenis produk. Pada saat itu setiap produk line berada pada suatu
devisi. Salah satu cara pengalokasian mungkin dengan memberikan dana tersebut
kepada devisi yang bisa mengelola dengan
efektif dan efisien. Jadi devisi yang kurang produktif tidak akan memperoleh
dana tersebut. Tentu saja di sini timbul konflik tentang pengalokasian dana.
Meskipun dipandang dari pihak devisi yang menerima alokasi dana yang kurang,
konflik ini dipandang infungsional, tetapi dipandang dari perusahaan secara
keseluruhan konflik ini adalah fungsional, karena akan mendorong setiap devisi
untuk lebih produktif. Manfaat yang
mungkin timbul dari contoh kasus di atas antara lain :
1. Para
manajer akan menemukan cara yang lebih efisien dalam menggunakan dana
2. Mereka
mungkin bisa menemukan cara untuk menghemat biaya
3. Mereka
meningkatkan prestasi masing-masing devisi secara keseluruhan
sehingga bisa tersedia
dana yang lebih besar untuk mereka semua.
Meskipun demikian, mungkin
juga timbul akibat yang tidak fungsional, dimana kerjasama antara kepala devisi
menjadi rusak karena konflik ini. Setiap konflik, baik fungsional maupun
infungsional akan menjadi sangat merusak apabila berlangsung terlalu jauh. Apabila
konflik menjadi di luar kendali karena mengalami eskalasi, berbagai perilaku
mungkin saja timbul. Pihak-pihak yang bertentangan akan saling mencurigai dan
bersikap sinis terhadap setiap tindakan pihak lain. Dengan timbulnya
kecurigaan, masing-masing pihak akan menuntut permintaan yang makin berlebihan
dari pihak lain. Setiap kegagalan untuk mencapai hal yang diinginkan akan
dicari kambing hitam dari pihak lain dan perilaku pihaknya sendiri akan selalu
dibela dan dicarikan pembenarannya, bahkan dengan cara yang emosional dan tidak
rasional.
Pada tahap seperti ini
informasi akan ditahan dan diganggu, sehingga apa yang sebenarnya terjadi dan
mengapa terjadi menjadi tidak diketahui. Dan segera bisa muncul usaha untuk
menggagalkan kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain. Kegiatan untuk “menang”
menjadi lebih dominan dari pada untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut Heidjrachman dari
berbagai penelitian dan percobaan ternyata ditemukan hasil-hasil yang mirip
antara yang satu dengan yang lain situasi, yang timbul akibat adanya konflik,
baik konflik yang fungsional maupun konflik yang infungsional. Di antaranya yang penting
adalah :
1. Timbulnya
kekompakan di antara anggota-anggota kelompok yang mempunyai konflik dengan
kelompok yang lain
2. Munculnya
para pimpinan dari kelompok yang mengalami konflik
3. Ada gangguan terhadap persepsi para anggota
atau kelompok yang mengalami konflik
4. antara kelompok yang mengalami konflik nampak
lebih besar dari pada yang sebenarnya, sedangkan perbedaan pendapat antar
individu dalam masing-masing kelompok tampak lebih kecil dari pada yang
sebenanya
5. Terpilihnya
“wakil-wakil” yang kuat dari pihak-pihak yang mengalami konflik
6. Timbulnya
ketidakmampuan untuk berfikir dan
menganalisa permasalahan
secara jernih.
Manajemen
Konflik yang Efektif
Manajemen konflik dimaksudkan
sebagai sebuah proses terpadu (intergrated) menyeluruh untuk menetapkan
tujuan organisasi dalam penanganan konflik, menetapkan cara-cara mencegahnya
program-program dan tindakan sebagai tersebut maka dapat ditekankan empat hal :
1. Manajemen
konflik sangat terkait dengan visi, strategi dan sistem nilai atau kultur
organisasi manajemen konflik yang diterapkan akan terkait erat dengan ketiga
hal tersebut.
2. Menajemen
konflik bersifat proaktif dan menekankan pada usaha pencegahan. Bila fokus
perhatian hanya ditujukan pada pencarian solusisolusi untuk setiap konflik yang
muncul, maka usaha itu adalah usaha penanganan konflik, bukan manajemen
konflik.
3. Sistem
manajemen konflik harus bersifat menyeluruh (corporate wide) dan mengingat
semua jajaran dalam organisasi. Adalah sia-sia bila sistem manajemen konflik
yang diterapkan hanya untuk bidang Sumberdaya Manusia saja misalnya.
4. Semua
rencana tindakan dan program-program dalam sistem manajemen konflik juga akan
bersifat pencegahan dan bila perlu penanganan. Dengan demikian maka semua
program akan mencakup edukasi, pelatihan dan program sosialisasi lainnya.
Metode Penyelesaian Konflik
Metode yang sering digunakan untuk menangani konflik
adalah :
1) Metode
pengurangan konflik. Salah satu cara yang sering efektif adalah dengan
mendinginkan persoalan terlebih dahulu (cooling thing down). Meskipun
demikian cara semacam ini sebenarnya belum menyentuh persoalan yang sebenarnya.
Cara lain adalah dengan membuat “musuh bersama”, sehingga para anggota di dalam
kelompok tersebut bersatu untuk menghadapi “musuh” tersebut. Cara semacam ini
sebenarnya juga hanya mengalihkan perhatian para anggota kelompok yang sedang
mengalami konflik.
2) Metode
penyelesaian konflik. Metode penyelesaian dapat dilakukan dengan cara :
a.
Dominasi (Penekanan)
Dominasi dan penekanan mempunyai persamaan makna,
yaitu keduanya menekan konflik, dan bukan memecahkannya, dengan memaksanya
“tenggelam” ke bawah permukaan dan mereka menciptakan situasi yang menang dan
yang kalah. Pihak yang kalah biasanya terpaksa memberikan jalan kepada yang
lebih tinggi kekuasaannya, menjadi kecewa dan dendam. Penekanan dan dominasi
bisa dinyatakan dalam bentuk pemaksaan sampai dengan pengambilan keputusan
dengan suara terbanyak (voting).
b.
Kompromi
Melalui kompromi mencoba menyelesaikan konflik dengan
menemukan dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik ( win-win solution). Cara ini lebih
memperkecil kemungkinan untuk munculnya permusuhan yang terpendam dari dua
belah pihak yang berkonflik, karena tidak ada yang merasa menang maupun kalah.
Meskipun demikian, dipandang dari pertimbangan organisasi pemecahan ini
bukanlah cara yang terbaik, karena tidak membuat penyelesaian yang terbaik pula
bagi organisasi, hanya untuk menyenangkan kedua belah pihak yang saling
bertentangan atau berkonflik
c.
Penyelesaian secara integratif
Dengan menyelesaikan konflik secara integratif,
konflik antar kelompok diubah menjadi situasi pemecahan persoalan bersama yang
bisa dipecahkan dengan bantuan tehnik-tehnik pemecahan masalah (problem
solving). Pihak-pihak yang bertentangan bersama-sama mencoba memecahkan
masalahnya,dan bukan hanya mencoba menekan konflik atau berkompromi. Meskipun
hal ini merupakan cara yang terbaik bagi organisasi, dalam prakteknya sering
sulit tercapai secara memuaskan karena kurang adanya kemauan yang
sunguh-sungguh dan jujur untuk memecahkan persoalan yang menimbulkan
persoalan (Dalimunthe , 2003)
Menurut
Winardi (2004), konflik yang terjadi dalam suatu organisasi dapat diselesaikan
dengan beberpa metode yaitu :
1. Dominasi dan Penekanan
Metode-metode
dominasi dan penekanan biasanya mempunyai persamaan sebagai berikut :
·
Mereka menekan konflik, dan bukan
menyelesaikannya, karena konflik yang muncul ke permukaan kembali ditekan
”kebawah”.
·
Mereka menciptakan suatu situasi ”menang-kalah”
dimana pihak yang kalah terpaksa mengalah terhadap pihak yang memiliki otoritas
lebih tinggi, atau memiliki kekuasaan lebih besar, yang biasanya menyebabkan
timbulnya sikap tidak puas dan bermusuhan.
2. Meratakan (Smoothing)
Meratakan
merupakan suatu cara lebih diplomatik untuk menyelesaikan konflik dimana sang
manajer meminimasi tingkat dan pentingnya ketidaksepakatan dan ia mencoba
membujuk salah satu pihak untuk ”mengalah”. Andaikata sang manajer tersebut
mempunyai lebih banyak informasi di bandingkan dengan pihak-pihak yang
berkonflik, dan ia mengajukan suatu saran yang dapat diterima, maka metode
tersebut dapat menjadi efektif. Tetapi, apabila sang manajer terkesan ”memihak”
pada salah satu kelompok, atau ia tidak memahami persoalan yang ada, maka pihak
yang kalah kiranya akan menentangnya.
3.
Menghindari (Avoidance)
Pura-pura tidak mengetahui adanya suatu konflik merupakan
suatu bentuk menghindari yang sering kali terlihat dalam praktik. Bentuk lain adalah
keengganan untuk menghadapi konflik dengan jalan mengulur-ulur waktu dab
memberikan alasan ”tunggu” dibandinkan dengan situasi sesungguhnya.
4.
Suara Terbanyak (Majority Rule)
Berupaya untuk menyelesaikan konflik kelompok dengan suara
terbanyak dapat merupakan cara efektif, andaikata para anggota-anggota
kelompok-kelompok yang ada menganggapnya sebagai cara yang layak. Tetapi,
apabila kelompok tertentu terus menerus menang dengan suara terbanyak, maka
pihak yang terus menerus kalah akan merasa frustasi dan tak berdaya.
5.
Kompromis
Melalui tindakan kompromis, para manajer berupaya
menyelesaikan konflik dengan meyakinkan masing-masing pihak dalam perundingan
bahwa mereka perlu mengorbankan sasaran-sasaran lain. Keputusan-keputusan yang
dicapai melalui kompromis, agaknya tidak akan menyebabkan pihak-pihak yang
berkonflik merasa frustasi atau bermusuhan. Tetapi, dipandang dari sudut
pandangan organisatoris, kompromis merupakan sebuah metode penyelesaiaan
konflik yang lemah, karena ia biasanya tidak menyebabkan timbulnya suatu
pemecahan yang paling baik membentu organisasi yang bersangkutan mencapai
tujuan-tujuannya.
Sedangkan Kreitner dan Kinicki (2001) mengemukakan bahwa menstimulasi
functional conflict dapat dilakukan dengan menggunakan “Programmed Conflict”,
yaitu proses penyelesaian konflik dengan cara mengangkat perbedaan-perbedaan
pendapat atau pandangan dengan mengabaikan perasaan pribadi, melalui keikut
sertaan dan masukan-masukan baik dari
pihak yang mempertahankan gagasan maupun yang mengkritik gagasan berdasarkan
fakta-fakta yang relevan dan mengesampingkan pandangan pribadi atau kepentingan
politis.
Dua teknik Programmed Conflict yang banyak dimanfaatkan (De Cenzo
and Robins. 1999) adalah :
1.
Devil’s Advocacy, di mana seseorang ditunjuk
untuk “menelanjangi” kelemahan-kelemahan dari sebuah gagasan tertentu sehingga
dapat disempurnakan bersama. Devil’s Advocacy yang dilakukan secara
periodik merupakan latihan yang bagus untuk mengembangkan kemampuan analitis
dan komunikasi.
2.
Dialectic method dilaksanakan dengan cara
membuka forum perdebatan di antara pandangan-pandangan yang berbeda untuk
memahami issue tertentu secara lebih baik.
Bila ditinjau dari sudut pandang
menang – kalah pada konflik, ada empat kuadrat manajemen konflik yang dapat
digunakan dalam menyelesaikan konflik yang ada dalam perusahaan atau organisasi
yaitu sebagai berikut (Garry Dessler, 1989):
1.
Kuadran Kalah-Kalah (Menghindari konflik)
Kuadran keempat ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan
menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti
bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau
menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Kita tidak memaksakan
keinginan kita dan sebaliknya tidak terlalu menginginkan sesuatu yang dimiliki
atau dikuasai pihak lain. Cara ini sebetulnya hanya bisa kita lakukan untuk
potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting. Jadi agar tidak menjadi
beban dalam pikiran atau kehidupan kita, sebaiknya memang setiap potensi
konflik harus dapat segera diselesaikan.
2.
Kuadran Menang-Kalah (Persaingan)
Kuadran kedua ini memastikan bahwa kita memenangkan konflik
dan pihak lain kalah. Biasanya kita menggunakan kekuasaan atau pengaruh kita
untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut kita yang keluar sebagai
pemenangnya. Biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam
pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau
kompetisi di antara kedua pihak. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat
tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi
kalah, sehingga sebaiknya hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang
membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas.
3.
Kuadran Kalah-Menang (Mengakomodasi)
Agak berbeda dengan kuadran kedua, kuadran ketiga yaitu kita
kalah – mereka menang ini berarti kita berada dalam posisi mengalah atau
mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini kita gunakan untuk menghindari
kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk
mengu rangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan
perdamaian yang kita inginkan. Mengalah dalam hal ini bukan berarti kita kalah,
tetapi kita menciptakan suasana untuk memungkinkan penyelesaian yang paripurna
terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak. Mengalah memiliki esensi
kebesaran jiwa dan member kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau
mengakomodasi kepentingan kita sehingga selanjutnya kita bersama bisa menuju ke
kuadran pertama.
4.
Kuadrat menang – menang (Kolaborasi)
Kuadran pertama ini disebut dengan gaya manajemen konflik
kolaborasi atau bekerja sama. Tujuan kita adalah mengatasi konflik dengan
menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang
mengikat semua pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama
memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya
berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya. Proses ini memerlukan komitmen
yang besar dari kedua pihak untuk menyelesaikannya dan dapat menumbuhkan hubungan jangka panjang
yang kokoh . Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing
pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan
berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan
tersebut.
PENUTUP
Konflik
dalam suatu perusahaan mempunyai dua sisi yang berbeda. Pada sisi satu konflik
memberikan dampak positif dan sisi lain konflik berdampak negatif. Hal ini
sangat tergantung pada pengendalian konflik di dalam perusahaan atau organisasi
itu sendiri. Pada bab dua dan bab tiga telah diuraikan tentang pengertian
konflik, jenis konflik, penyebab hingga metode penyelesaian konflik. Maka dapat
disimpulkan bahwa :
1.
Konflik yang terjadi di dalam perusahaan atau
organisasi disebabkan oleh perselisihan antara satu individu dengan individu
lain akibat kesalahpahaman dalam menafsiran suatu persoalan di dalam organisasi
atau perusahaan tersebut.
2.
Setiap konflik yang muncul dipermukaan pada perusahaan
atau organisasi memiliki dampak baik secara fungsional maupun infungsional.
Sehingga dibutuhkan manajemen yang tepat untuk mengendalian konflik yang timbul
tersebut.
3.
Langkah yang tepat untuk menyelesaikan konflik dalam
perusahaan atau organisasi yang mesti dilakukan adalah pencegahan dini dan
menyelesaikan konflik dengan cara musyawarah. Sehingga konflik tersebut tidak
berimbah pada kesuksesan perusahaan atau organisasi yang sedang dijalankan.
4.
Hal yang mesti diperhatikan oleh seorang pimpinan
perusahaan adalah kesejahteraan para karyawan. Karyawan merupakan aset yang
sangat berharga. Jika kesejahteraan karyawan meningkat akan berdampak pada
performen karyawan yang dipimpin. Sehingga mengurangi konflik dalam perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus M Hardjana, 1994. Konflik di Tempat Kerja,
Kanisius, Yogyakarta.
Dalimunthe, R.F. 2003. Peranan manajemen konflik pada suatu
organisasi, www.digilib.usu.ac.id/download/fe/manajemen-ritha5.pdf,
diakses pada 16 Oktober 2011
De Cenzo and Robins. 1999. Human Resource Management. New
York : John Wiley & Sons, Inc.
Garry Dessler. 1989. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jilid 2, Jakarta : PT. Prehelinso.
Kreitner, Kinicki A, 2001, Organization Behavior, The Mc Graw
– Hill Companies, Inc, New York.
Mangkunegara, 2001, Motivasi Kerja dalam Organisasi, PT. Raja
Grafondo Persada, Jakarta
Sukanto Reksohadiprodjo , 1996. Organisasi Perusahaan (Teori,
Struktur, dan Perilaku) BPFE, Yogyakarta.
Winardi, 2004, Manajemen Perilaku Organisasi, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.
pekasian tidak da yg coment...
BalasHapus