Air bersih menjadi salah satu kebutuhan yang
mendasar bagi kehidupan manusia. Air bersih yang memenuhi standar atau
persyaratan kesehatan adalah air minum yang tidak berbau, berwarna dan berasa
serta memenuhi baku mutu yang telah ditentukan.
Namun belakangan ini banyak sekali sumber air yang
telah tercemar karena berbagai kondisi. Sebagai contoh, kondisi air permukaan pada sumur-sumur
masyarakat Aceh umumnya tidak dapat lagi di konsumsi sebagai air minum pasca
tsunami. Hal ini disebabkan karena tsunami telah menurunkan kualitas dan
kuantitas air. Selain berasa payau (lagang), airnya juga
mengandung unsur sodium nitrit (NO2) dan amonia (NH3)
dalam kadar tinggi (melebihi baku mutu).
Diketahuinya kadar nitrit dan amonia yang tinggi di
sebagian sumur warga itu, setelah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
(Bapedal) Aceh melakukan uji sampel air sumur penduduk pada sejumlah kecamatan
di Kota Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh. Secara medis, bila termakan,
terhirup, atau terpapar nitrit maupun amonia bisa menyebabkan manusia keracunan
(pening, mual, dan muntah) merusak metabolisme tubuh, bahkan paling radikal
bisa menyebabkan kematian, terutama pada bayi.
Namun demikian, meski ada sumur yang kadar nitrit
dan amonianya rendah, sehingga layak dijadikan air baku untuk sumber air minum,
tapi masih perlu penanganan khusus. Air sumur yang hendak dikonsumsi untuk air
minum itu, sebelum diolah menjadi air bersih melalui penyaringan, perlu
ditambahkan tawas dan kaporit. Selain itu saat dimasak haruslah sampai
benar-benar mendidih.
Selama ini proses pengolahan air yang digunakan
adalah pengolahan konvensional. Pengolahan konvensional terdiri dari proses koagulasi, flokulasi, sedimentasi dan filtrasi
kemudian ditambahkan klorinasi. Pengolahan dengan penam
penambahan
klorin akan membahayakan kesehatan manusia. Semua bentuk klorin
berbahaya bagi kesehatan. Orang yang meminum air yang mengandung klorin
memiliki kemungkinan lebih besar untuk terkena kanker. Selain itu, pengolahan
konvensional yang selama ini digunakan kurang efektif dalam menghilangkan
kontaminan yang terkandung di dalam air , dan juga berbahaya bagi kesehatan
manusia karena adanya penambahan klorin.
Oleh karena itu
diperlukan suatu metode pengolahan air yang mampu membersihkan kontaminan yang
terkandung dalam air tersebut. Pengolahan
konvensional yang berbasis pada teknologi konvensional seperti
koagulasi-flokulasi, sedimentasi dan filtrasi sering kali kurang efektif atau
gagal untuk mengolah dengan hasil sesuai dengan baku mutu yang diharapkan.
Untuk itu diperlukan teknologi alternatif untuk mengolah air baku tersebut.
Membran ultrafiltrasi diharapkan mampu menurunkan parameter seperti zat organik
dan kekeruhan.
Teknologi membran telah
menjadi topik hangat dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal itu mungkin dipicu
fakta bahwa pemisahan dengan membran memiliki banyak keunggulan yang tidak
dimiliki metode-metode pemisahan lainnya. Keunggulan tersebut yaitu pemisahan
dengan membran tidak membutuhkan zat kimia tambahan dan juga kebutuhan
energinya sangat minim. Membran dapat bertindak sebagai filter yang sangat
spesifik. Hanya molekul-molekul dengan ukuran tertentu saja yang bisa melewati
membran sedangkan sisanya akan tertahan di permukaan membran. Selain
keunggulan-keunggulan yang telah disebutkan, teknologi membran ini sederhana,
praktis, dan mudah dilakukan.
Terapan teknologi
membran ini dapat digunakan untuk menghasilkan air bersih dengan syarat
kualitas air minum. Air baku dimasukkan ke peralatan yang berisi membran
ultrafiltrasi, dengan memberikan tekanan. Ini merupakan proses fisis yang
memisahkan zat terlarut dari pelarutnya. Membran hanya dilalui pelarut,
sedangkan terlarutnya, baik elektrolit maupun organik, akan ditolak (rejeksi),
juga praktis untuk menghilangkan zat organik. Kontaminan lainnya seperti koloid
akan tertahan oleh struktur pori yang berfungsi sebagai penyaring (sieve)
molekul BM nominal. Membran yang dipakai untuk ultrafiltrasi mempunyai struktur
membran berpori dan asimetrik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar