Rabu, 26 Oktober 2011

Manajemen Konflik Perusahaan



PENDAHULUAN



Latar Belakang
            Sumber daya manusia merupakan aset penting dalam pencapaian tujuan suatu perusahaan karena dapat menentukan keberhasilan perusahaan. Semua perusahaan tentunya sangat membutuhkan sumber daya manusia yang berkinerja baik dan produktivitas yang optimal agar dapat mencapai tujuannya. Sikap dan tindakan dari setiap sumber daya manusia dalam perusahaan merupakan gambaran kinerjanya dan akan berpengaruh pada produktivitas perusahaan secara keseluruhan. Jadi untuk tercapainya tujuan perusahaan, kinerja dari setiap karyawan perlu ditingkatkan dan dipelihara.
Keberadaan konflik dalam suatu organisasi tidak dapat dihindarkan, dengan kata lain bahwa konflik selalu hadir dan tidak dapat dielakkan. Konflik didefenisikan sebagai suatu proses interaksi sosial dimana dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau lebih, bebeda atau bertentangan dalam pendapat atau tujuan mereka, perlu disadari bahwa merendahnya produktivitas keja bisa terjadi karena masalah keperilakuan.
Setiap karyawan memiliki perasaan, fikiran, inisiatif dan kreativitas serta perilaku dan kebutuhan yang relative berbeda satu sama lain, sehingga tidak menutup kemungkinan didalam melakukan aktivitasnya akan ditemukan berbagai persaingan atau bentrokan yang dapat menimbulkan masalah, yang apabila dibiarkan akan berpengaruh terhadap kinerja dari karyawan yang ada di perusahaan. atau berpengaruh lebih jauh terhadap kinerja yang dimiliki karyawan. Para  manajer serta pimpinan organisasi, kurang lebih 25% dari waktu mereka dikonsentrasikan untuk menangani konflik. Pernyataan tersebut mengarah pada tindakan-tindakan efektif dan efisien yang perlu diambil oleh seorang pimpinan untuk menyelesaikan konflik sebelum mempengaruhi produktivitas perusahaan.



TINJAUAN PUSTAKA

 Pengertian Konflik
Konflik berasal dari bahasa Latin: Confligo, terdiri dari dua kata yaitu conberarti bersama – sama dan fligoyang berarti pemogokan, penghancuran atau peremukan. Menurut  Garry Dessler (1989) dikatakan bahwa kata konflik diserap dari bahasa Inggris, Conflict yang berarti: pertarungan (a fight), perbuatan kekerasan (struggle), persengketaan (a controversy), perlawanan yang aktif (active opposition hostility).

Tabel 1.1 Definisi konflik menurut para ahli.
No.  .
Menurut Ahli
Defini konflik
1.
Taquiri dalam Newstorm dan Davis, 1977
Merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat munculnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan antara dua pihak atau lebih secara terus menerus.
2.
Robbin, 1996
Konflik organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi, maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka hal tersebut telah menjadi kenyataan.
3.
Muchlas, 1999
Merupakan bentuk interaktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stress.
4.
Myers, 1982
Konflik berpusat pada beberapa penyebab utama, yaitu tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber-sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat.
5.
Devito, 1995
Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda-beda.
Sumber : http://id.wikipedia.org/pengertian_konflik/  (diakses16 Oktober 2011)
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah segala macam interaksi pertentangan atau antogonistik antara dua atau lebih pihak. Dengan kata lain konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain pada level yang berbeda-beda karena beberapa alasan atau penyebab utama, yaitu tujuan yang ingin dicapai, dan alokasi sumber – sumber yang dibagikan. Disamping itu, sikap antagonistis dan kontroversi yang ditunjukkan oleh seseorang dalam situasi dan peristiwa tertentu juga menjadi pemicu munculnya konflik dalam suatu organisasi.
  
Jenis-jenis Konflik
Menurut Sukanto (1996) organisasi dengan skala besar maupun kecil yang pernah mengalami dan menyelesaikan konflik – konfliknya, setidaknya membagi jenis konflik menjadi 4 yaitu sebagai berikut:
1.      Konflik peranan yang terjadi di dalam diri seseorang (person-role conflict) di mana peraturan yang berlaku tak dapat diterima oleh seseorang sehingga orang tersebut memilih untuk tidak melaksanakan sesuatu sesuai dengan peraturan yang berlaku tersebut.
2.      Konflik antar peranan (inter-role conflict) di mana orang menghadapi persoalan karena dia menjabat dua atau lebih fungsi yang saling bertentangan seperti seseorang yang menjadi mandor dalam perusahaan tetapi juga sebagai ketua serikat pekerja.
3.      Konflik yang timbul karena seseorang harus memenuhi harapan beberapa orang (intersender conflict), misalnya seorang rektor yang harus memenuhi permintaan dari dekan-dekan fakultas yang berlainan atau dekan yang harus mengakomodir semua kepentingan atau kebutuhan para ketua jurusan yang juga sangat bermacam-macam.
4.      Konflik yang timbul karena disampaikannya informasi yang saling bertentangan (intrasender conflict).

Penyebab Konflik
Berdasarkan hasil kesimpulan beberapa definisi tentang konflik yang telah paparkan di atas, konflik sebagai sebuah situasi timbul karena adanya sebab yang mengkondisikannya. Menurut Agus M Hardjana (1994) sebab – sebab umum yang sering menimbulkan konflik dalam suatu organisasi antara lain:
1.      Salah pengertian, informasi atau berita yang tidak dikomunikasikan secara lengkap atau utuh dapat menimbulkan konflik. Informasi yang lengkap dan jelas tetapi tidak disampaikan tepat waktu juga dapat menimbulkan konflik. Dari sisi penerima informasi atau pesan, semua pesan telah diterima secara komplit atau utuh, jelas, tepat waktu, tetapi salah dalam memahami dan menterjemahkan informasi yang diterima tersebut. Pengumuman tentang akan adanya pemadaman listrik di suatu organisasi tidak sampai pada operator genset atau diesel penggerak listrik pengganti akan menyebabkan terganggunya operasi mesin presensi on line atau bagian olah data di departemen penelitian dan pengembangan.
2.      Perbedaan tujuan kerja karena perbedaan nilai hidup yang dianut. Orang yang bekerja karena ingin mendapatkan upah atau gaji demi menghidupi ekonomi keluarga akan sangat berbeda motivasi atau semangat dan cara kerjanya jika dibandingkan dengan orang yang bekerja hanya karena ingin mengabdikan dirinya sebagai panggilan hidup. Orang-orang yang secara materi sudah berkecukupan, bekerja kadangkala hanya digunakan untuk memperoleh status sosial saja, sehingga kondisi semacam ini memunculkan disorientasi kerja antara orang satu dengan lainnya.
3.      Perebutan dan persaingan dalam hal fasilitas kerja dan suatu jabatan yang terbatas. Konflik dapat muncul dalam situasi di mana orang-orang yang berkeinginan untuk menduduki jabatan supervisor, manajer, direktur, sampai presiden direktur sangat banyak sementara pospos jabatan yang ingin dituju sangatlah terbatas. Perebutan/persaingan pos-pos jabatan seperti di atas sangat potensial menimbulkan gesekan kepentingan. Keterbatasan fasilitas kendaraan dinas, alat kerja seperti komputer, mesin ketik, kalkulator, dan tempat parkir juga bisa menjadi perebutan dan saling menguasai satu sama lain.
4.      Masalah wewenang dan tanggungjawab. Jenis pekerjaan yang bermacam-macam dan saling memiliki keterkaitan satu sama lain memungkinkan terjadinya lempar tanggungjawab atas pekerjaan tertentu. Dalam organisasi yang besar dengan kompleksitas pekerjaan dan masalah yang besar, batas-batas wewenang dan tanggungjawab antar lini atau bagian atau departemen walaupun sudah jelas dan terstandar tetapi seringkali masih menyisakan persoalan-persoalan yang di luar kebiasaan. Contoh nyata adalah bagian persuratan, bagian distribusi, dan bagian pengemudi. Ketiga unit kerja dengan tugas dan tanggungjawabnya masing-masing pada situasi tertentu bisa saling melempar pekerjaan dalam hal pengiriman surat. Jika sudah terjadi demikian, maka sebenarna konflik sudah terjadi walupun eksalasinya masih sangat sempit dan sederhana. Akan tetapi bila kejadian ini terus terulang dan pimpinan tidak ada upaya mengatasinya, maka bukan tidak mungkin konflik akan meluas yang menyebabkan terganggunya pencapaian kinerja organisasi secara luas.
5.      Penafsiran yang berbeda atas suatu hal, perkara, dan peristiwa yang sama. Organisasi yang beranggotakan orang-orang dengan berbagai latar belakang suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, dan usia memiliki tingkat heteroginitas yang sangat tinggi. Karena anggota organisasi yang berbeda latar belakang, sudah barang tentu keinginan, harapan, sudut pandang, ide, gagasan, dan tujuan setiap orang juga berbeda-beda pula. Perbedaan sudut pandang terhadap suatu peristiwa antar individu memungkinkan munculnya pertentangan pendapat yang bias menimbulkan konflik. Organisasi yang identik dengan birokrasi, aturan, dan tata tertib memaksa tiap individu mematuhi dan menepati aturan-aturan tersebut. Dalam menjalankan aturan dan tata tertib seorang pegawai atau karyawan ada yang tidak sama antar pegawai yang satu dengan yang lain, hal ini diakibatkan oleh perbedaan penafsiran, sudut pandang, dan interpretasi atas peraturan yang ada.
6.      Kurangnya kerja sama antar pegawai, antara pegawai dengan pimpinan, dan antara pimpinan dengan pimpinan dapat menyebabkan hasil kerja tidak optimal. Penyebab hasil kerja yang tidak optimal tersebut seringkali dicarikan kambing hitam (scape goat), saling menyalahkan, saling mencari pembenaran sendiri, bahkan saling mencaci yang akhirnya menimbulkan konflik dalam organisasi.
7.      Tidak menaati tata tertib yang berlaku bagi semua anggota oraganisasi. Jika pada kasus nomor 5 di atas orang melanggar tata tertib (tidak sengaja) karena perbedaan penafsiran, dalam kasus pegawai yang tidak menaati tata tertib lebih disebabkan karena sikap pegawai yang tidak disiplin. Sikap tidak disiplin yang ditunjukkan oleh seorang pegawai karena adanya kecenderungan penyimpangan perilaku yang dapat menimbulkan kecemburuan atau kekecewaan terhadap pegawai-pegawai yang taat dan tertib dengan peraturan. Kecemburuan atau kekecewaan inilah yang bisa menjadi penyulut timbulnya konflik dalam organisasi.
8.      Ada usaha untuk menguasai dan merugikan. Pada dasarnya setiap orang tidak ada yang mau dikuasi, dijajah, disepelekan, dan di tindas harga diri dan eksistensinya dalam pergaulan di level manapun. Organisasi yang di dalamnya terdapat kelompok-kelompok orang seringkali ingin mencari pengaruh dan menunjukkan superiroritasnya diantara kelompok-kelompok minoritas yang lain. Usaha kelompok tertentu dalam organisasi untuk menguasai kelompok lain dengan tujuan mencari keuntungan di satu sisi dan merugikan di sisi yang lain dapat memunculkan situasi atau gejolak terutama kelompok yang merasa dirugikan. Gejolak yang muncul inilah yang dapat membulkan konflik organisasi yang harus diredam dan dicarikan penyelesaiannya oleh para manajer atau atau pimpinan.
9.      Pelecehan pribadi dan kedudukan. Orang yang pribadi dan kedudukannya dilecehkan merasa harga dirinya di injak dan dan direndahkan. Apalagi orang yang melecehkan tersebut secara hirarki tidak setara kedudukannya dibandingkan dengan orang yang dilecehkan. Seorang yang pribadi dan kedudukannya diremehkan dan dihina orang lain biasanya melakukan perlawanan. Kadangkala perlawanan melibatkan bawahan masing yang berkonflik, sehingga cakupan konfliknya menjadi meluas.
10.  Perubahan dalam sasaran dan prosedur kerja. Pada dasarnya orang yang sudah berada pada posisi nyaman (comfort zone) memiliki kecenderungan untuk memepertahankan status quo alias tetap. Bagi orang yang berada dalam wilayah nyaman, perubahan dianggap sebagai ancaman yang harus dilawan. Perubahan hanya akan merugikan dirinya, baik dari sisi karir, kedudukan, kewenangan, pestise, pengaruh maupun secara ekonomi.
Selain itu, jika dipandang dari sumbernya konflik juga bisa timbul karena adanya beberapa sebab antara lain:
1.      Konflik individu, timbul ketika seorang individu sedang menghadapi pekerjaan yang tidak disukainya di satu sisi tetapi harus dilakukannya pada sisi yang lain sebagai bentuk konsekuensi dari status dan jenjang kepangkatan yang melekat pada dirinya. Selain itu pada situasi tertentu seseorang akan mengalami konflik individu ketika target pekerjaan yang harus diselesaikannya tidak didukung oleh kemampuan teknis yang dimilikinya karena faktor pendidikan, usia, dan kesehatan.
2.      Konflik antar individu, timbul dalam suatu organisasi akibat perbedaan latar belakang, etnis, suku, agama, tujuan, dan kepribadian antar individu. Konflik semacam ini juga bisa muncul karena antar individu dibedakan oleh peranan masing-masing dalam organisasi seperti direktur dengan manajer, manajer dengan mandor, dan mandor dengan para buruh atau sebaliknya. Perbedaan peran tentunya memunculkan perbedaan tujuan, orientasi, dan kepentingan masing-masing.
3.      Konflik antara individu dengan kelompok, hal ini terjadi karena individu tertentu seabagai bagian dari kelompok dalam suatu organisasi tidak atau kurang bisa memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga dikucilkan dari pergaulan kelompok tersebut. Perasaan dikucilkan, tidak dihargai, tidak dipandang atau dihormati seperti individu yang lain menimbulkan konflik individu yang dapat mengganggu integritas dan keseimbangan hubungan antar individu sehingga dapat merugikan organisasi secara keseluruhan.
4.      Konflik antar kelompok, konflik ini terjadi karena perbedaan kepentingan dan tujuan yang satu sama lain tidak ada yang mau mengalah. Biasanya konflik antar kelompok ini muncul karena ingin saling menguasai, yang mayoritas merasa lebih berhak menjadi pemimpin dan menentukan tujuan kelompok tersebut. Sedangkan kelompok minoritas berasumsi bahwa dalam kelompok tidak bolah ada superior dan inferior, semua memiliki hak dan kewajiban yang sama, berhak atas perlakuan dan keadilan yang sama.
5.      Konflik antara kelompok dengan organisasi, konflik ini timbul ketika organisasi menuntut target produktivitas terlalu tinggi sedangkan para individu anggota organisasi hanya bisa memberikan terlalu rendah. Seorang direktur ingin perusahaannya maju dengan tingkat produksi yang optimal agar dicapai laba perusahaan secara optimal pula, sementara dari sisi manajer, mandor, buruh atau karyawan berkeinginan bagaimana memperoleh gaji atau upah yang setinggi-tingginya agar dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya.
6.      Konflik antar organisasi, timbul sebagai akibat persaingan bisnis, persaingan memperoleh pengakuan atau pengaruh dari masyarakat, kesalahpahaman antar individu anggota organisasi saja tetapi mengakibatkan eskalasi masalahnya melibatkan masing-masing organisasi sehingga pihak manajemen harus turun tangan. Dari sisi bisnis, perang harga, perebutan pangsa pasar, pengembangan produk, dan kemajuan teknolgi menimbulkan konflik sesame organisasi.
Penyebab terjadinya konflik dalam organisasi menurut Mangkunegara (2001), yaitu :
1.      Koordinasi kerja yang tidak dilakukan
2.      Ketergantungan dalam pelaksanaan tugas
3.      Tugas yang tidak jelas ( tidak ada deskripsi jabatan )
4.      Perbedaan dalam otorisasi pekerjaan
5.      Perbedaan dalam memahami tujuan organisasi
6.      Perbedaan persepsi
7.      Sistem kompetensi insentif (reward)
8.      Strategi pemotivasian tidak tepat.


 Tipe-tipe Konflik
Tiga macam tipe konflik dasar, yaitu :
1.      Konflik tujuan (Goal conflict), yang akan terjadi apabila keadaan akhir yang diinginkan atau hasil-hasil yang diprefensi, ternyata tidak sesuai satu sama lainnya.
Dalam konflik tujuan, ada 3 macam tipe dasar, yaitu :
a.    Konflik “pendekatan-pendekatan” (Approach – approach Conflict)  Yaitu terjadi apabila seseorang mempunyai pilihan antara dua macam alternatif atau lebih, dengan hasil-hasil positif. Misalnya, apabila kita harus memilih antara dua macam pekerjaan yang sama menariknya.
b.    Konflik “menghindari-menghindari” (Avoidance-avoidance Conflict)  Yaitu terjadi apabila seseorang harus memilih antara dua macam alternative atau lebih yang memiliki dampak negatif.
c.    Konflik “pendekatan-menghindari” (Approach-avoidance Conflict)  Yaitu terjadi apabila seseorang harus memutuskan apakah ia akan melaksanakan sesuatu hal yang mengandung dampak positif.
2.      Konflik kognitif (Cognitive Conflict), yang timbul apabila para individu menyadari bahwa ide-ide atau pemikiran mereka tidak konsisten satu sama lainnya.
3.      Konflik afektif (Affective Conflict), yaitu konflik yang timbul apabila perasaan-perasaan atau emosi-emosi tidak sesuai satu sama lain (Winardi, 2004).
Menurut Dalimunthe (2003) ada 2 jenis konflik, yaitu :
1.      Konflik substantif yaitu merupakan perselisihan yang berkaitan dengan tujuan kelompok, pengalokasian sumber daya dalam suatu organisasi, distribusi kebijaksanaan dan prosedur, dan pembagian jabatan pekerjaan.
2.      Konflik emosional yaitu terjadi akibat adanya perasaan marah, tidak percaya, tidak simpatik, takut dan penolakan, serta adanya pertentangan antar pribadi (personality clashes).
Kreitner dan Kinicki (2001) membedakan empat tipe konflik, yaitu :
1.      Personality conflict yaitu konflik antar personal yang didorong oleh ketidak senangan atau ketidak cocokan pribadi.
2.      Value conflict adalah konflik karena perbedaan pandangan atas tata nilai tertentu.
3.      Intergroup conflict merupakan pertentangan antar kelompok kerja, team dan departemen.
4.      Cross-Cultural conflict merupakan pertentangan yang terjadi antar budaya yang berbeda.



PEMBAHASAN


Terjadinya konflik dalam setiap perusahaan atau organisasi merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini terjadi karena di satu sisi orang-orang yang terlibat dalam organisasi mempunyai karakter, tujuan, visi, maupun gaya  berbeda-beda. Di sisi lain adanya saling ketergantungan antara satu dengan yang lain yang menjadi karakter setiap organisasi. Tidak semua konflik merugikan organisasi. Konflik yang ditata dan dikendalikan dengan baik dapat menguntungkan organisasi sebagai suatu kesatuan. Dalam menata konflik dalam organisasi diperlukan keterbukaan, kesabaran serta kesadaran semua pihak yang terlibat maupun yang berkepentingan dengan konflik yang terjadi dalam organisasi dibutuhakan kearifan dan manajemun konflik yang tetap sehingga konflik dapat di arahkan ke arah yang tepat.

Konflik dan Produktivitas Kerja
Peranan manusia menjadi penting, ketika berada dalam suatu organisasi. Mereka dibutuhkan untuk dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan yang menjadi tujuan organisasi tersebut. Namun, ketika seseorang atau beberapa karyawan memperoleh peran sering muncul ketidakpuasan atas peran yang diberikan oleh organisasi kepada seseorang ataupun ketika orang lain mendapatkan peran, yang menurutnya orang tersebut “tidak layak” mendapatkannya. Munculnya konflik di dalam organisasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, dan konflik peran adalah salah satu faktor yang dapat menurunkan performansi seseorang dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan di organisasi tersebut. Hubungan konflik peran pribadi dan performansi dari seseorang dapat digambarkan dalam kurva berikut ini.
 Gambar 3.1 . Hubungan konflik peran pribadi dan performansi dari seseorang

Konflik yang tinggi menyebabkan performansi seseorang menjadi semakin rendah, sebaliknya semakin rendah konflik yang terjadi menyebabkan performansi seseorang akan menjadi lebih baik.Pada keadaan konflik yang tinggi (ekstrem), maka pimpinan atau manajemen perlu memberikan stimulus pemecahan atau pendekatan konflik secara tepat, ada beberapa metode dalam melakukan pendekatan konflik. Pada wilayah mana konflik peran pribadi dapat dikelola untuk dapat memunculkan performansi optimal bagi seseorang. Butuh manajemen konflik secara tepat dalam mengelola konflik peran pribadi yang ada di dalam organisasi yang dipimpin oleh seorang manajer (Agus M Hardjana, 1994).
  
Dampak yang Ditimbulkan dari Segi Konflik
            Dari segi dampak yang timbul, konflik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konflik fungsional dan konflik infungsional. Konflik dikatakan fungsional apabila dampaknya dapat memberi manfaat atau keuntungan bagi organisasi, sebaliknya disebut infungsional apabila dampaknya justru merugikan organisasi. Konflik dapat menjadi fungsional apabila dikelola dan dikendalikan dengan baik.
Contoh konflik yang fungsional dengan kasus seorang manajer perusahaan yang menghadapi masalah tentang bagaimana mengalokasikan dana untuk meningkatkan penjualan masing-masing jenis produk. Pada saat itu setiap produk line berada pada suatu devisi. Salah satu cara pengalokasian mungkin dengan memberikan dana tersebut kepada devisi yang bisa mengelola  dengan efektif dan efisien. Jadi devisi yang kurang produktif tidak akan memperoleh dana tersebut. Tentu saja di sini timbul konflik tentang pengalokasian dana. Meskipun dipandang dari pihak devisi yang menerima alokasi dana yang kurang, konflik ini dipandang infungsional, tetapi dipandang dari perusahaan secara keseluruhan konflik ini adalah fungsional, karena akan mendorong setiap devisi untuk lebih produktif.  Manfaat yang mungkin timbul dari contoh kasus di atas antara lain :
1.      Para manajer akan menemukan cara yang lebih efisien dalam menggunakan dana
2.      Mereka mungkin bisa menemukan cara untuk menghemat biaya
3.      Mereka meningkatkan prestasi masing-masing devisi secara keseluruhan
sehingga bisa tersedia dana yang lebih besar untuk mereka semua.
Meskipun demikian, mungkin juga timbul akibat yang tidak fungsional, dimana kerjasama antara kepala devisi menjadi rusak karena konflik ini. Setiap konflik, baik fungsional maupun infungsional akan menjadi sangat merusak apabila berlangsung terlalu jauh. Apabila konflik menjadi di luar kendali karena mengalami eskalasi, berbagai perilaku mungkin saja timbul. Pihak-pihak yang bertentangan akan saling mencurigai dan bersikap sinis terhadap setiap tindakan pihak lain. Dengan timbulnya kecurigaan, masing-masing pihak akan menuntut permintaan yang makin berlebihan dari pihak lain. Setiap kegagalan untuk mencapai hal yang diinginkan akan dicari kambing hitam dari pihak lain dan perilaku pihaknya sendiri akan selalu dibela dan dicarikan pembenarannya, bahkan dengan cara yang emosional dan tidak rasional.
Pada tahap seperti ini informasi akan ditahan dan diganggu, sehingga apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa terjadi menjadi tidak diketahui. Dan segera bisa muncul usaha untuk menggagalkan kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain. Kegiatan untuk “menang” menjadi lebih dominan dari pada untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut Heidjrachman dari berbagai penelitian dan percobaan ternyata ditemukan hasil-hasil yang mirip antara yang satu dengan yang lain situasi, yang timbul akibat adanya konflik, baik konflik yang fungsional maupun konflik yang  infungsional. Di antaranya yang penting adalah :
1.      Timbulnya kekompakan di antara anggota-anggota kelompok yang mempunyai konflik dengan kelompok yang lain
2.      Munculnya para pimpinan dari kelompok yang mengalami konflik
3.       Ada gangguan terhadap persepsi para anggota atau kelompok yang mengalami konflik
4.       antara kelompok yang mengalami konflik nampak lebih besar dari pada yang sebenarnya, sedangkan perbedaan pendapat antar individu dalam masing-masing kelompok tampak lebih kecil dari pada yang sebenanya
5.      Terpilihnya “wakil-wakil” yang kuat dari pihak-pihak yang mengalami konflik
6.      Timbulnya ketidakmampuan untuk berfikir dan
menganalisa permasalahan secara jernih.

Manajemen Konflik yang Efektif
            Manajemen konflik dimaksudkan sebagai sebuah proses terpadu (intergrated) menyeluruh untuk menetapkan tujuan organisasi dalam penanganan konflik, menetapkan cara-cara mencegahnya program-program dan tindakan sebagai tersebut maka dapat ditekankan empat hal :
1.      Manajemen konflik sangat terkait dengan visi, strategi dan sistem nilai atau kultur organisasi manajemen konflik yang diterapkan akan terkait erat dengan ketiga hal tersebut.
2.      Menajemen konflik bersifat proaktif dan menekankan pada usaha pencegahan. Bila fokus perhatian hanya ditujukan pada pencarian solusisolusi untuk setiap konflik yang muncul, maka usaha itu adalah usaha penanganan konflik, bukan manajemen konflik.
3.      Sistem manajemen konflik harus bersifat menyeluruh (corporate wide) dan mengingat semua jajaran dalam organisasi. Adalah sia-sia bila sistem manajemen konflik yang diterapkan hanya untuk bidang Sumberdaya Manusia saja misalnya.
4.      Semua rencana tindakan dan program-program dalam sistem manajemen konflik juga akan bersifat pencegahan dan bila perlu penanganan. Dengan demikian maka semua program akan mencakup edukasi, pelatihan dan program sosialisasi lainnya.

Metode Penyelesaian Konflik
Metode yang sering digunakan untuk menangani konflik adalah :
1)      Metode pengurangan konflik. Salah satu cara yang sering efektif adalah dengan mendinginkan persoalan terlebih dahulu (cooling thing down). Meskipun demikian cara semacam ini sebenarnya belum menyentuh persoalan yang sebenarnya. Cara lain adalah dengan membuat “musuh bersama”, sehingga para anggota di dalam kelompok tersebut bersatu untuk menghadapi “musuh” tersebut. Cara semacam ini sebenarnya juga hanya mengalihkan perhatian para anggota kelompok yang sedang mengalami konflik.
2)      Metode penyelesaian konflik. Metode penyelesaian dapat dilakukan dengan cara :
a.    Dominasi (Penekanan)
Dominasi dan penekanan mempunyai persamaan makna, yaitu keduanya menekan konflik, dan bukan memecahkannya, dengan memaksanya “tenggelam” ke bawah permukaan dan mereka menciptakan situasi yang menang dan yang kalah. Pihak yang kalah biasanya terpaksa memberikan jalan kepada yang lebih tinggi kekuasaannya, menjadi kecewa dan dendam. Penekanan dan dominasi bisa dinyatakan dalam bentuk pemaksaan sampai dengan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak (voting).

b.    Kompromi
Melalui kompromi mencoba menyelesaikan konflik dengan menemukan dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik ( win-win solution). Cara ini lebih memperkecil kemungkinan untuk munculnya permusuhan yang terpendam dari dua belah pihak yang berkonflik, karena tidak ada yang merasa menang maupun kalah. Meskipun demikian, dipandang dari pertimbangan organisasi pemecahan ini bukanlah cara yang terbaik, karena tidak membuat penyelesaian yang terbaik pula bagi organisasi, hanya untuk menyenangkan kedua belah pihak yang saling bertentangan atau berkonflik
c.    Penyelesaian secara integratif
Dengan menyelesaikan konflik secara integratif, konflik antar kelompok diubah menjadi situasi pemecahan persoalan bersama yang bisa dipecahkan dengan bantuan tehnik-tehnik pemecahan masalah (problem solving). Pihak-pihak yang bertentangan bersama-sama mencoba memecahkan masalahnya,dan bukan hanya mencoba menekan konflik atau berkompromi. Meskipun hal ini merupakan cara yang terbaik bagi organisasi, dalam prakteknya sering sulit tercapai secara memuaskan karena kurang adanya kemauan yang sunguh-sungguh dan jujur untuk memecahkan persoalan yang menimbulkan persoalan  (Dalimunthe , 2003)
            Menurut Winardi (2004), konflik yang terjadi dalam suatu organisasi dapat diselesaikan dengan beberpa metode yaitu :
1.  Dominasi dan Penekanan
Metode-metode dominasi dan penekanan biasanya mempunyai persamaan sebagai berikut :
·      Mereka menekan konflik, dan bukan menyelesaikannya, karena konflik yang muncul ke permukaan kembali ditekan ”kebawah”.
·      Mereka menciptakan suatu situasi ”menang-kalah” dimana pihak yang kalah terpaksa mengalah terhadap pihak yang memiliki otoritas lebih tinggi, atau memiliki kekuasaan lebih besar, yang biasanya menyebabkan timbulnya sikap tidak puas dan bermusuhan.

2.  Meratakan (Smoothing)
Meratakan merupakan suatu cara lebih diplomatik untuk menyelesaikan konflik dimana sang manajer meminimasi tingkat dan pentingnya ketidaksepakatan dan ia mencoba membujuk salah satu pihak untuk ”mengalah”. Andaikata sang manajer tersebut mempunyai lebih banyak informasi di bandingkan dengan pihak-pihak yang berkonflik, dan ia mengajukan suatu saran yang dapat diterima, maka metode tersebut dapat menjadi efektif. Tetapi, apabila sang manajer terkesan ”memihak” pada salah satu kelompok, atau ia tidak memahami persoalan yang ada, maka pihak yang kalah kiranya akan menentangnya.
3.      Menghindari (Avoidance)
Pura-pura tidak mengetahui adanya suatu konflik merupakan suatu bentuk menghindari yang sering kali terlihat dalam praktik. Bentuk lain adalah keengganan untuk menghadapi konflik dengan jalan mengulur-ulur waktu dab memberikan alasan ”tunggu” dibandinkan dengan situasi sesungguhnya.
4.      Suara Terbanyak (Majority Rule)
Berupaya untuk menyelesaikan konflik kelompok dengan suara terbanyak dapat merupakan cara efektif, andaikata para anggota-anggota kelompok-kelompok yang ada menganggapnya sebagai cara yang layak. Tetapi, apabila kelompok tertentu terus menerus menang dengan suara terbanyak, maka pihak yang terus menerus kalah akan merasa frustasi dan tak berdaya.
5.      Kompromis
Melalui tindakan kompromis, para manajer berupaya menyelesaikan konflik dengan meyakinkan masing-masing pihak dalam perundingan bahwa mereka perlu mengorbankan sasaran-sasaran lain. Keputusan-keputusan yang dicapai melalui kompromis, agaknya tidak akan menyebabkan pihak-pihak yang berkonflik merasa frustasi atau bermusuhan. Tetapi, dipandang dari sudut pandangan organisatoris, kompromis merupakan sebuah metode penyelesaiaan konflik yang lemah, karena ia biasanya tidak menyebabkan timbulnya suatu pemecahan yang paling baik membentu organisasi yang bersangkutan mencapai tujuan-tujuannya.
Sedangkan Kreitner dan Kinicki (2001) mengemukakan bahwa menstimulasi functional conflict dapat dilakukan dengan menggunakan “Programmed Conflict”, yaitu proses penyelesaian konflik dengan cara mengangkat perbedaan-perbedaan pendapat atau pandangan dengan mengabaikan perasaan pribadi, melalui keikut sertaan dan masukan-masukan  baik dari pihak yang mempertahankan gagasan maupun yang mengkritik gagasan berdasarkan fakta-fakta yang relevan dan mengesampingkan pandangan pribadi atau kepentingan politis.
Dua teknik Programmed Conflict yang banyak dimanfaatkan (De Cenzo and Robins. 1999) adalah :
1.    Devil’s Advocacy, di mana seseorang ditunjuk untuk “menelanjangi” kelemahan-kelemahan dari sebuah gagasan tertentu sehingga dapat disempurnakan bersama. Devil’s Advocacy yang dilakukan secara periodik merupakan latihan yang bagus untuk mengembangkan kemampuan analitis dan komunikasi.
2.    Dialectic method dilaksanakan dengan cara membuka forum perdebatan di antara pandangan-pandangan yang berbeda untuk memahami issue tertentu secara lebih baik.
Bila ditinjau dari sudut pandang menang – kalah pada konflik, ada empat kuadrat manajemen konflik yang dapat digunakan dalam menyelesaikan konflik yang ada dalam perusahaan atau organisasi yaitu sebagai berikut (Garry Dessler, 1989):
1.    Kuadran Kalah-Kalah (Menghindari konflik)
Kuadran keempat ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Kita tidak memaksakan keinginan kita dan sebaliknya tidak terlalu menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai pihak lain. Cara ini sebetulnya hanya bisa kita lakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting. Jadi agar tidak menjadi beban dalam pikiran atau kehidupan kita, sebaiknya memang setiap potensi konflik harus dapat segera diselesaikan.
2.    Kuadran Menang-Kalah (Persaingan)
Kuadran kedua ini memastikan bahwa kita memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya kita menggunakan kekuasaan atau pengaruh kita untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut kita yang keluar sebagai pemenangnya. Biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga sebaiknya hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas.
3.    Kuadran Kalah-Menang (Mengakomodasi)
Agak berbeda dengan kuadran kedua, kuadran ketiga yaitu kita kalah – mereka menang ini berarti kita berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini kita gunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengu rangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang kita inginkan. Mengalah dalam hal ini bukan berarti kita kalah, tetapi kita menciptakan suasana untuk memungkinkan penyelesaian yang paripurna terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak. Mengalah memiliki esensi kebesaran jiwa dan member kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau mengakomodasi kepentingan kita sehingga selanjutnya kita bersama bisa menuju ke kuadran pertama.
4.    Kuadrat menang – menang (Kolaborasi)
Kuadran pertama ini disebut dengan gaya manajemen konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuan kita adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya. Proses ini memerlukan komitmen yang besar dari kedua pihak untuk menyelesaikannya  dan dapat menumbuhkan hubungan jangka panjang yang kokoh . Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut.



PENUTUP


            Konflik dalam suatu perusahaan mempunyai dua sisi yang berbeda. Pada sisi satu konflik memberikan dampak positif dan sisi lain konflik berdampak negatif. Hal ini sangat tergantung pada pengendalian konflik di dalam perusahaan atau organisasi itu sendiri. Pada bab dua dan bab tiga telah diuraikan tentang pengertian konflik, jenis konflik, penyebab hingga metode penyelesaian konflik. Maka dapat disimpulkan bahwa :
1.      Konflik yang terjadi di dalam perusahaan atau organisasi disebabkan oleh perselisihan antara satu individu dengan individu lain akibat kesalahpahaman dalam menafsiran suatu persoalan di dalam organisasi atau perusahaan tersebut.
2.      Setiap konflik yang muncul dipermukaan pada perusahaan atau organisasi memiliki dampak baik secara fungsional maupun infungsional. Sehingga dibutuhkan manajemen yang tepat untuk mengendalian konflik yang timbul tersebut.
3.      Langkah yang tepat untuk menyelesaikan konflik dalam perusahaan atau organisasi yang mesti dilakukan adalah pencegahan dini dan menyelesaikan konflik dengan cara musyawarah. Sehingga konflik tersebut tidak berimbah pada kesuksesan perusahaan atau organisasi yang sedang dijalankan.
4.      Hal yang mesti diperhatikan oleh seorang pimpinan perusahaan adalah kesejahteraan para karyawan. Karyawan merupakan aset yang sangat berharga. Jika kesejahteraan karyawan meningkat akan berdampak pada performen karyawan yang dipimpin. Sehingga mengurangi konflik dalam perusahaan.


DAFTAR PUSTAKA


Agus M Hardjana, 1994. Konflik di Tempat Kerja, Kanisius, Yogyakarta.

Dalimunthe, R.F. 2003. Peranan manajemen konflik pada suatu organisasi, www.digilib.usu.ac.id/download/fe/manajemen-ritha5.pdf, diakses pada        16  Oktober 2011

De Cenzo and Robins. 1999. Human Resource Management. New York : John Wiley & Sons, Inc.

Garry Dessler. 1989. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jilid 2, Jakarta : PT. Prehelinso.

Kreitner, Kinicki A, 2001, Organization Behavior, The Mc Graw – Hill Companies, Inc, New York.

Mangkunegara, 2001, Motivasi Kerja dalam Organisasi, PT. Raja Grafondo Persada, Jakarta

Sukanto Reksohadiprodjo , 1996. Organisasi Perusahaan (Teori, Struktur, dan Perilaku) BPFE, Yogyakarta.

Winardi, 2004, Manajemen Perilaku Organisasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.