BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap masyarakat
senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam
masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal
tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari
hal-hal yang lainnya. Kalau suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan material
dari pada kehormatan, misalnya mereka yang mempunyai kekayaan material yang
berlebih akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan
pihak-pihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat yang merupakan
pembedaan posisi seseorang atau kelompok dalam suatu kedudukan yang berbeda.
Istilah lapisan masyarakat
dalam pengetahuan sosial lebih dikenal dengan istilah Stratifikasi Sosial. Stratifikasi berasal dari bahasa Inggris
yaitu stratification, berasal dari
kata strata atau stratum yang berarti
lapisan. Oleh sebab itu social
stratification sering diterjemahkan
dengan istilah pelapisan masyarakat atau pelapisan sosial.
Pelapisan sosial terjadi dengan sendirinya dan dengan
sengaja. Adapun orang – orang yang menduduki lapisan tertentu dibentuk bukan
berdasarkan atas kesengajaan yang disusun sebelumnya oleh masyarakat itu tetapi
berjalan secara alamiah dengan sendirinya. Oleh karena itu sifatnya yang tanpa
disengaja akan membentuk pelapisan dan dasar dari pelapisan itu bervariasi
menurut tempat, waktu dan kebudayaan masyarakat yang disengaja pelapisan yang
disusun dengan ditunjukkan untuk mengejar tujuan bersama.
Beberapa pemikir tentang sosial tentang pelapisan ini
muncul karena adanya ketidaksamaan status – status diantara individu – individu
serta adanya ukuran tentang apa yang sangat dihargai dan dijadikan ukuran oleh
masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Aristoteles (Yunani) bahwa di dalam Negara terdapat tiga unsur
yaitu mereka yang kaya sekali, yang melarat dan yang berada ditengah –
tengahnya. Pitirim A. Sorokin (1959) pernah mengatakan bahwa sistem lapisan
merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur.
Seseorang atau kelompok yang memiliki sesuatu yang ia miliki sangat berharga
dalam jumlah yang banyak akan dianggap masyarakat sebagai kelompok lapisan
atas. Mereka yang hanya sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu yang
berharga dalam pandang masyarakat mempunyai kedudukan yang lebih rendah.
Mereka yang memiliki uang banyak, akan mudah sekali
mendapatkan tanah, kekuasaan dan kehormatan. Sedangkan mereka yang mempunyai
kekuasaan besar, mudah menjadi kaya dan menguasai ilmu pengetahuan. Semakin rumit dan semakin majunya teknologi
dalam suatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem pelapisan yang terjadi.
1.2 Rumusan Masalah
Pelapisan
masyarakat dalam suatu wilayah merupakan suatu penomena yang tidak dapat
dihindar baik secara langsung maupun tidak langsung. Didalam makalah ada
beberapa rumusanmasalah untuk membahas pelapisan masyarakat di dalam kehidupan
bermasyarakat. Rumusan masalah meliputi :
a.
Apa yang dimaksud dengan
Stratifikasi masyarakat ?
b.
Bagaimana terjadinya
pelapisan masyarkat ?
c.
Bagaimana sifat sistem lapisan
masyarakat yang terjadi di dalam masyarakat ?
d.
Unsur apasaja yang ada pada
lapisan masyarakat
e.
Mengapa perlunya sistem lapisan
masyarakat itu sendiri ?
f.
Bagaimana konsekuensi dari
pelapisan masyarakat itu sendiri ?
1.3 Tujuan
Dengan adanya
mempelajiri pelapisan masyarakat (Stratifikasi sosial) diharapkan mahasiswa
maupun masyarakat pada umum bisa memahami status yang dimilikinya untuk
menghargai setiap individu yang ada. Agar tidak terjadi kesenjangan sosial yang
menyebabkan munculnya konflik perpecahan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Stratifikasi
Masyarakat
Pengaruh pelapisan sosial
merupakan gejala umum yang dapat ditemukan disetiap masyarakat pada segala
zaman. Betapapun sederhananya suatu masyarakat gejala ini pasti kita jumpai.
Seperti adanya orang miskin, orang kaya, buruh, pengusaha,
sarjana, tukang, dan sebagainya. Oleh karena status, baik yang berupa harta,
kedudukan atau jabatan seringkali menciptakan perbedaan dalam menghargai
seseorang. Dalam suatu masyarakat, orang yang memiliki harta berlimpah lebih
dihargai daripada orang yang miskin. Demikian pula orang yang lebih
berpendidikan dihargai lebih daripada yang kurang berpendidikan (Soekanto,
1990)..
Masyarakat sebenarnya telah mengenal pembagian atau pelapisan sosial
sejak dahulu. Pada zaman dahulu, Aristoteles menyatakan bahwa didalam setiap
negara selalu terdapat tiga unsur, yakni orang-orang kaya sekali, orang-orang
melarat dan orang-orang yang berada di tengah-tengah. Menurut Aristoteles,
orang-orang kaya sekali ditempatkan dalam lapisan atas oleh masyarakat,
sedangkan orang – orang melarat ditempatkan dalam lapisan bawah, dan orang –
orang di tengah ditempatkan dalam lapisan masyarakat menengah.
Beberapa definisi stratifikasi sosial :
a. Pitirim A. Sorokin
Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai perbedaan
penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat
(hierarki).
b. Max Weber
Stratifikasi sosial sebagai
penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke
dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, previllege dan
prestise.
c. Cuber
Mendefinisikan
stratifikasi sosial sebagai suatu pola yang ditempatkan di atas kategori dari
hak-hak yang berbeda.
2.2 Terjadinya Pelapisan Masyarakat
Terjadinya pelapisan dalam masyarakat itu karena adanya sistem
penilaian atau penghargaan terhadap berbagai hal dalam masyarakat tersebut,
berkenaan dengan potensi, kapasitas atau kemampuan manusia yang tidak sama satu
dengan yang lain, dengan sendirinya sesuatu yang dianggap bernilai atau
berharga itu juga menjadi keadaan yang langka, orang akan senantiasa meraih
penghargaan itu dengan sekuat tenaga baik melalui persaingan bahkan tidak
jarang dengan melalui konflik fisik (Soekanto, 1990).
Sekurangnya ada dua proses timbulnya pelapisan dalam masyarakat itu.
Pertama terjadi dengan sendirinya dan kedua sengaja disusun untuk mengejar
suatu tujuan bersama.
Proses yang pertama,
pelapisan sosial itu terjadi karena tingkat umur (age stratification),
dalam sistem ini masing-masing anggota menurut klasifikasi umur mempunyai hak
dan kewajiban yang berbeda, untuk masyarakat tertentu, ada keistimewaan dari
seorang anak sulung dimana dengan nilai-nilai sosial yang berlaku mereka
mendapat prioritas dalam pewarisan atau kekuasaan. Azas senioritas yang ada
dalam sistem pelapisan ini dijumpai pula dalam bidang pekerjaan, agaknya ada
hubungan yang erat antara usia seorang karyawan dengan pangkat atau kedudukan
yang ditempatinya. Ini terjadi karena dalam organisasi tersebut pada asasnya
karyawan hanya dapat memperoleh kenaikan pangkat setelah berselang suatu jangka
waktu tertentu – misalnya dua tahun atau empat tahun, karena jabatan dalam
organisasi hanya dapat dipangku oleh karyawan yang telah mencapai suatu pangkat
minimal tertentu dan karena dalam hal terdapat suatu lowongan jabatan baru,
karyawan yang dipertimbangkan untuk mengisinya ialah mereka yang dianggap
paling senior.
Walaupun tidak mutlak benar, faktor kepandaian atau kecerdasan (intellegentsia)
pada umumnya masing dipakai sebagai tolok ukur untuk membedakan orang dengan
orang lainnya; dikatakan tidak mutlak benar, karena dalam penelitian modern
ternyata faktor kecerdasan ini tidak sekedar hanya bisa dibangkitkan,
dikembangkan bahkan juga bisa ditingkatkan yaitu dengan melalui latihan-latihan
tertentu sehingga kedua belah bagian otak kiri dan kanan terangsang untuk
berfikir, kreatif secara benar (Soekanto, 1990).
Faktor kepandaian atau kecerdasan (Intellegentsia)
seolah-olah memilah kelompok sekurangnya menjadi dua, yaitu orang-orang yang
dianggap mempunyai kepandaian yang lebih dan orang-orang yang berkepandaian
kurang, dalam istilah sehari-hari orang-orang yang kurang pandai ini dikatakan
sebagai orang yang “susah mengingat-gampang lupa”. Kepandaian disini harus
dibedakan dengan keterampilan, ada orang pandai tetapi tidak terampil, ada
orang yang terampil tetapi tidak pandai, ada orang yang tidak pandai tetapi
tidak terampil dan yang paling baik adalah orang yang pandai tetapi juga
terampil (Ralph Linton, 1967).
Faktor ketidak sengajaan lainnya adalah kekerabatan, maksud
kekerabatan disini adalah kedudukan orang perorangan terhadap kedekatannya
dengan sumber kekerabatan itu. Biasanya faktor kekerabatan disini berhubungan
dengan kedudukan dalam keluarga atau menyangkut sistem pewarisan. Semakin jauh
hubungan kerabatnya maka semakin kecil kesempatan seseorang untuk menempati
kedudukan tertentu dalam keluarga atau bahkan semakin kecil pula kesempatannya
untuk memperoleh seperangkat fasilitas yang diwariskan oleh keluarganya. Tidak
seluruh anggota keluarga dapat menjadi ketua adat pada salah satu keluarga
Batak Toba misalnya, selama individu tersebut tidak memiliki akses kuat dalam
keluarga yang bersangkutan, atau misalnya yang berlaku pada kelompok Dayak Iban
di Kalimantan, atau banyak lagi kelompok-kelompok yang tersebar di belahan bumi
Indonesia dengan orientasi kekerabatan yang masih kuat.
Bentuk lain dari sistem pelapisan yang terjadi dengan sendirinya
adalah gender, fenomena ini walaupun tidak mutlak menentukan suatu
pelapisan namun dalam beberapa hal juga menunjuk pada sistem itu. Sistem
pewarisan pada beberapa masyarakat menunjukan kecenderungan bahwa laki-laki
berhak mewarisi lebih dari perempuan atau dalam bidang pekerjaan, khususnya
pada kehidupan masyarakat yang belum begitu modern, dominasi laki-laki terasa
lebih kental dibandingkan dengan perempuan, partisipasi perempuan dalam dunia
kerja relatif lebih terbatas dibandingkan dengan laki-laki para pekerja
perempuan pun relatif lebih banyak terdapat di strata yang lebih rendah dan sering menerima upah atau gaji yang lebih
rendah dari laki-laki.
Proses yang kedua,
yaitu sistem pelapisan yang sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan
bersama, disamping dibeda-bedakan berdasarkan status yang diperoleh, anggota
masyarakat dibeda-bedakan pula berdasarkan status yang diraihnya, sehingga
menghasilkan berbagai jenis stratifikasi. Salah satu diantaranya adalah
stratifikasi berdasarkan pendidikan (educational stratification) bahwa
hak dan kewajiban warga negara sering dibeda-bedakan atas dasar tingkat
pendidikan formal yang berhasil mereka raih.
Sistem stratifikasi yang lain yang kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari ialah stratifikasi pekerjaan (occupational stratification).
Di bidang pekerjaan modern kita mengenal berbagai klasifikasi yang mencerminkan
stratifikasi pekerjaan, seperti misalnya perbedaan antara manager serta tenaga
eksekutif dan tenaga administratif, buruh, antara tamtama, bintara, perwira
pertama, perwira menengah, perwira tinggi. Kepala dinas, kepala bagian, kepala
seksi, kepala koordinator dan sebagainya.
Stratifikasi ekonomi (economic stratification), yaitu
pembedaan warga masyarakat berdasarkan penguasaan dan pemilikan materi, pun
merupakan suatu kenyataan sehari-hari. Dalam kaitan ini kita mengenal, antara
lain, perbedaan warga masyarakat berdasarkan penghasilan dan kekayaan
merekamenjadi kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Dalam masyarakat
kitaterdapat sejumlah besar warga yang tidak mampu memenuhi keperluan minimum
manusia untuk hidup layak karena penghasilan dan miliknya sangat terbatas,
tetapi ada pula warga yang seluruh kekayaan pribadinya bernilai puluhan miliar
bahkan ratusan miliar rupiah. Di kalangan petani di pedesaan, kita menjumpai beberapa
perbedaan antara petani pemilik tanah, petani penggarap dan buruh tani, yang
mana masing-masing strata itu memiliki cara hidup tersendiri sesuai dengan
kedudukan (ekonomi) nya dalam masyarakat.
Seperti yang telah diuaraikansebelumnya, bahwa ada pula sistem
stratifikasi sosial yang dengan sengaja disusu unutk mengejar tujuan bersama;
hal itu biasanya dilakukan terhadap pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi
dalam organisasi-organisasi formil, seperti misalnya pemerintahan, perusahaan,
partai politik, angkatan bersenjata, atau perkumpulan. Kekuasaan dan wewenang
itu merupakan suatu unsur yang khusus dalam sistem pelapisan dalam masyarakat,
unsur mana mempunyai sifat yang lain daripada uang, tanah, dan sebagainya dapat
terbagi secara bebas di antara anggota suatu masyarakat tanpa merusak keutuhan
masyarakat itu.
2.3 Sifat Sistem Lapisan Masyarakat
Menurut
Soekanto (1990) bahwa sifat sistem lapisan di dalam suatu masyarakat dapat
dibagi dua yaitu bersifat tertutup (closed
social stratification), terbuka (open
social stratification).
a. Bersifat tertutup, suatu keadaan yang membatasi kemungkinan
pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan lainnya. Baik yang merupakan
gerak ke atas atau ke bawah. Di dalam sistem yang demikian, satu-satunya jalan
untuk menjadi anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran. Contoh:
-
Sistem kasta di India. Kaum
Sudra tidak bisa pindah posisi naik di lapisan Brahmana.
-
Rasialis. Kulit hitam (negro) yang dianggap di posisi rendah tidak bisa pindah kedudukan
di posisi kulit putih.
-
Feodal. Kaum buruh tidak bisa
pindah ke posisi juragan/majikan.
Gambar 2.1 Sistem tertutup
b. Sistem terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk
berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik kelapisan selanjutnya. Contoh:
-
Seorang miskin karena usahanya
bisa menjadi kaya, atau sebaliknya.
-
Seorang yang tidak/kurang
pendidikan akan dapat memperoleh pendidikan asal ada niat dan usaha.
Gambar 2.2
Sistem tertutup
2.4 Unsur Lapisan Masyarakat
Selo
Soemardjan (1964), seorang tokoh sosiologi Indonesia, menyatakan bahwa hal yang
mewujudkan unsur-unsur dalam teori sosiologi tentang sistem lapisan masyarakat
adalah kedudukan (status) dan peranan (role). Sedangkan menurut Ralph Linton (1967), bahwa
kedudukan dan peranan merupakan unsur-unsur baku dalam sistem lapisan
masyarakat dan memiliki arti yang penting bagi sistem sosial masyarakat.
mengartikan sistem sosial itu sebagai pola-pola yang mengatur hubungan timbal
balik antar individu dalam masyarakat dan antar individu dengan masyarakatnya,
dan tingkah laku individu-individu tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal
balik tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang penting,
karena keberlangsungan hidup masyarakat tergantung daripada keseimbangan
kepentingan kepentingan individu –individu termaksud. Untuk mendapatkan
gambaran yang mendalam tentang kedudukan dan peranan ini akan dibicarakan
tersendiri di bawah ini.
2.4.1 Kedudukan (status)
Ada dua pengertian yang membedakan
antara “kedudukan” (status), dengan “kedudukan social”
(social status). Kedudukan diartikan
sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok social yang
berhubungan dengan orang-orang lainnya dalam kelompok tersebut atau tempat
suatu kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lainnya di dalam kelompok
yang lebih besar lagi. Sedangkan Kedudukan
sosial artinya adalah tempat seseorang secara umum dalam
masyarakatnya berhubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan
pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya (Roucek dan
Warren, 1962).
Kedudukan
sosial tidaklah semata-mata berarti kumpulan kedudukan-kedudukan seseorang
dalam kelompok-kelompok yang berbeda, akan tetapi kedudukan-kedudukan sosial
tersebut mempengaruhi kedudukan orang tadi dalam kelompok-kelompok sosial yang
berbeda
Untuk lebih
mudah mendapatkan pengertian, kedua istilah tersebut di atas akan dipergunakan
dalam arti yang sama dan digambarkan dengan istilah ‘kedudukan’ (status) saja.
Kedudukan, sebagaimana lazim dipergunakan, mempunyai dua arti :
a.
Secara abstrak, kedudukan
berarti tempat seseorang dalam suatu pola tertentu; dengan demikian seseroang
dikatakan memiliki beberapa kedudukan, oleh karena seseorang biasanya ikut
serta dalam berbagai pola-pola kehidupan. Pengertian tersebut menunjukkan
tempatnya sehubungan dengan kerangka masyarakat secara menyeluruh.
b.
Apabila dipisahkan dari
individu yang memilikinya, kedudukan hanya merupakan kumpulan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban termaksud hanya dapat terlaksana melalui perantaraan
individu-individu, maka agak sukar untuk memisahkannya secara tegas dan kaku.
Hubungan antara individu dengan kedudukan, dapat diibaratkan sebagai hubungan
pengemudi mobil dengan tempat atau kedudukan si pengemudi dengan mesin mobil
tersebut; tempat mengemudi dengan mesin mobil tersebut; tempat mengemudi dengan
segala alat untuk menjalankan mobil adalah alat-alat tetap yang penting untuk
menjalankan serta mengendalikan mobil tersebut, pengemudi dapat berganti-ganti,
yang mungkin akan dapat menjalankannya dengan lebih baik, atau bahkan lebih
buruk (Ralph Linton, 1967).
Dalam masyarakat, sekurangnya ada tiga macam kedudukan, yaitu :
1. Ascribe
status,
Yaitu
kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan
rohaniah dan kemampuan; kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran. Pada
umumnya ascribe status dijumpai pada masyarakat-masyarakat dengan sistem
pelapisan yang tertutup, atau masyarakat dimana sistem pelapisannya tergantung
pada perbedaan rasil. Namun demikian, ascribe status juga ditemukan pada
bentuk-bentuk masyarakat dengan sistem pelapisan yang terbuka; misalnya
kedudukan laki-laki dalam satu keluarga, kedudukannya berbeda dengan kedudukan
istri atau anak-anaknya; ascribe status disini walaupun tidak diperoleh
atasdasar kelahiran, akan tetapi pada umumnya sang ayah atau suami adalah
kepala keluarga batihnya. Untuk menjadi kepala keluarga batih tersebut,
laki-laki tidak perlu mempunyai darah bangsawan atau kasta tertentu, sosok
seorang ayah tetap saja sebagi kepala rumah tangga.
2. Achieved Status
Adalah
kedudukan yang dicapai seseorang dengan usaha yang disengaja; kedudukan ini
tidak diperoleh atas dasar kelahiran, akan tetapi bersifat terbuka bagi siapa
saja hal mana tergantung dari kemampuannya masing-masing dalam mengejar serta
mencapai tujuan-tujuannya; seseorang yang ingin menjadi pemain bulu tangkis
yang handal, tentunya harus berlatih bulu tangkis dengan tekun, seseroang yang
ingin menjadi dokter, tentunya harus belajar kedokteran. Kecenderungan
tercapainya achieved status ini bisanya ditemukan dalam bentuk-bentuk
masyarakat dengan sistem pelapisan yang terbuka, hal ini bisa terjadi karena
nilai-nilai dalam masyarakat memungkinkan untuk berlakunya tindakan-tindakan
seperti itu. Anak seorang Rudy Hartono belum tentu akan menjadi pemain bulu
tangkis yang handal, walaupun kalau hanya untuk sekedar menjadi juara RT
mungkin bisa, sedangkan orang tua Rudi Hartono mungkin seorang pebulu tangkis
tetapi prestasinya tidak sehebat anaknya.
3. Assigned Status
Satu bentuk kedudukan yang mempunyai hubungan erat dengan achieved
status,yaitu kedudukan yang diberikan karena alasan-alasan tertentu; dalam arti
bahwa suatu kelompok, golongan, atau masyarakat memberikan kedudukan yang lebih
tinggi kepada seseorang yang dianggap berjasa, yang telah memperjuangkan
sesuatuuntuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Akan tetapi
kadang-kadang kedudukan tersebut diberikan, karena seseorang telah lama
menduduki suatu jabatan tertentu, seperti di pedesaan ada istilah ‘lurah
hormat’ adalah satu gelar yang diberikan kepada seorang mantan pemuka desa yang
dianggap sangat berjasa atas kemajuan desanya. Kedudukan yang diberikan ini
diwujudkan dalam bentuk penghormatan gelar tertentu seperti ‘datuk’ pada
masyarakat Sumatera Barat, ‘sir’ pada masyarakat Inggris, atau ‘andi’
pada masyarakat Makasar; Individu-individu yang mendapatkan kedudukan ini tidak
dibebankan atas kewajiban-kewajiban menurut kedudukannya, namun mereka
sedikitnya mendapakan fasilitas-fasilitas khusus yang tidak diberikan pada
orang kebanyakan, di samping itu kedudukan ini tidak terbatas diberikan kepada
anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan, tetapi bisa juga kepada orang
luar masyarakat tersebut.
Telah kita fahami bahwa manusia itu hidup berkelompok, kalau mengacu
pada teori Van der Zanden (1979), seorang individu bisa diidentifikasikan
sebagai anggota ketegori statistik, kategori sosial, kelompok sosial, asosiasi,
dan kerumunan, belum lagi bila dilihat dari aspek kepentingan maka seorang
manusia itu bisa termasuk dalam beberapa kelompok kepentingan. Berkenaan dengan
keberadaannya dalam kelompok-kelompok, maka tentu setiap orang tidak akan luput
dari kedudukan-kedudukannya baik dalam lingkup persekutuan hidup yang kecil
maupun dalam lingkup masyarakat yang lebih besar. Seorang bapak guru misalnya,
selain kedudukannya sebagai guru dia juga termasuk kategori laki-laki dewasa,
dia juga adalah anak dari kedua orang tuanya, mungkin juga selain guru dia
dipercaya untuk mengelola urusan koperasi sekolah, atau mungkin juga dia aktif
sebagai pengurus PGRI, atau mungkin juga dia sebagi ayah bagi anak-anaknya
sekaligus sebagai suami dari istrinya, dan sebagainya.
Ada kalanya dari seperangkat kedudukan seseorang dalam masyarakat
terjadi pertentangan-pertentangan berkaitan dengan kedudukannya itu, keadaan
mana dalam istilah sosiologi disebut sebagai status konflik . misalnya bapak
guru seperti di atas tadi, yang pada suatu saat harus menghukum seorang siswa
yang melanggar aturan sekolah, dimana siswa tersebut adalah puteranya sendiri,
atau seorang jaksa yagng harus menuntut anaknya sendiri karena melakukan tindak
pidana, atau seorang petugas pajak yang harus memungut pajak penghasilannya
sendiri. Konflik antar kedudukan-kedudukan tersebut tidak bisa dihindari
berhubung kepentingan-kepentingan individu tidak selalu sesuai atau sejalan
dengan kepentingan-kepentingan masyarakatnya, sehinggasering kali sulit bagi
individu tersebut untuk mengatasinya dengan benar.
Kedudukan macam mana yang dimiliki seseorang atau kedudukan apa yang
melekat padanya, dapat terlihat pada kehidupan sehari-harinya melalui ciri-ciri
tertentu, yang dalam ilmu sosiologi dinamakan status symbol; ciri-ciri
tersebut seolah-olah sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ada beberapa ciri
tertentu yang dianggap sebagai status symbol, misalnya cara berpakaian,
pergaulan, cara-cara mengisi waktu senggang, memilih tempat tinggal,
berkendaraan, rekreasi, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang membedakannya
dengan orang-orang kebanyakan. Status symbol ini tidak hanya melekat pada
golongan atau lapisan tertentu saja, namun setiap lapisan biasanya mempunyai
ciri-ciri tersendiri.
Satu bentuk penghargaan yang ada dalam masyarakat modern, khususnya
pada masyarakat perkotaan di Indonesia, adalah tingkat penguasaan ilmu yaitu
dalam bentuk gelar-gelar intelektual; seseorang yang memiliki gelar kesarjanaan
tertentu setidaknya telah membuktikan bahwa yang memperolehnya telah memenuhi
beberapa persyaratan tertentu dalam bidang-bidanang ilmu pengetahuan yang
khusus. Hal ini menyebabkan terjadinya beberapa akibat yang negatif, antara
lain bahwa, yang dikejar bukanlah ilmu pengetahuannya, akan tetapi gelar
kesarjanaannya. Gelar tersebut kemudian menjadi status symbol tanpa
menghiraukan bagaimana isi yang sesungguhnya; banyak dari mereka yang merasa
malu karena tidak memiliki gelar kesarjanaan, padahal kedudukan mereka di dalam
masyarakat telah terpandang; segala cara diupayakan untuk mendapatkan gelar itu
tanpa memperdulikan lagi apakah kemudian mereka dapat mempertanggung jawabkan
terhadap apa yang telah mereka upayakan itu.
2.4.2 Peranan (Role)
Peranan (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan, dimana
apabila seseorang melaksanakan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya sesuai
dengan kedudukannya maka orang itu telah menjalankan suatu peran. Peranan dan kedudukan
itu saling melengkapi, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan, oleh karena yang
satu tergantung pada yang lain dan
demikian sebaliknya. Yang membedakan dari keduanya adalah menyangkut
proses, harus ada kedudukan terlebih dahulu baru kemudian ada peranan, keadaan
ini tidak bisa terbalik.
Setiap orang mempunyai bermacam-macam peranan yang berasal dari
pola-pola pergaulan hidupnya dan hal itu sekaligus berarti bahwa peranan
tersebut menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan
apa yang diberikan masyarakat kepadanya. Pentingnya peranan adalah bahwa hal
itu mengatur perikelakuan seseorang, dan juga bahwa peranan menyebabkan
seseorang pada batas-batas tertentu dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang
lain, sehingga dengan demikian, orang yang bersangkutan akan dapat menyesuaikan
perikelakuan sendiri dengan perikelakuan orang-orang sekelompoknya. Maka
hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat, merupakan hubungan antara
peranan-peranan individu-individu dalam masyarakat. Peranan-peranan tersebut
diatur oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya norma-norma
kesopanan yang menuntut seseorang untuk menyapa orang banyak dikala dia
berjalan melintasinya, maka dia harus berlaku seperti itu, atau norma kesopanan
yang mengatur sikap seorang penumpang terhadap orang lanjut usia di kendaraan
umum, maka dia harus mendahulukan orang tua itu untuk duduk (Soerjono, 1990).
Sekurangnya suatu
peranan itu mencakup tiga hal :
1.
Peranan adalah meliputi
norma-norma yang dihubungakan dengan posisi atau tempat seseorang dalam
masyarakat; peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang
membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
2.
Peranan adalah suatu konsep
perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai
organisasi
3.
Peranan juga dapat dikatakan
sebagai perikelakuan individu yang penting bagi struktur sosial.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu
dikemukakan perihal fasilitas-fasilitas bagi peranan individu (role facilities);
biasanya masyarakat memberikan fasilitas-fasilitas bagi individu agar dia dapat
melaksanakan peranannya. Lembaga-lembaga masyarakat merupakan bagian masyarakat
yang banyak menyediakan peluang-peluang untuk melaksanakan peranan.
Kadang-kadang struktur suatu golongan kemasyarakatan, menyebabkan
fasilitas-fasilitas tersebut bertambah; misalnya perubahan organisasi suatu
sekolah yang memerlukan penambahan guru, pegawai administrasi, penjaga sekolah
dan sebagainya. Akan tetapi sebaliknya, hal itu juga dapat mengurangi
peluang-peluang, seperti misalnya apabila terpaksa diadakan rasionalisasi
sebagai akibat perubahan struktur dan organisasi.
Agaknya pertentangan-pertentangan kedudukan (status
conflict) membawa pengaruh terhadap peranan ini, karena tidak jarang
terjadi suatu pemisahan antara individu dengan peranan yang sesungguhnya harus
dilaksanakan (disebut sebagai role- distance) . Gejala tadi timbul
apabila seseorang merasa tertekan karena dia merasa dirinya tidak sesuai untuk
melaksanakan peranan yang diberikan masyarakat atau bahkan menyembunyikan
dirinya, apabila dia berada dalam lingkungan sosial yang berbeda. Lingkungan
sosial atau social circle adalah kelompok sosial dimana seseorang
mendapat tempat serta kesempatan untuk melaksanakan peranannya. Setiap peranan
bertujuan agar antara individu yang melaksanakan peranan dengan orang-orang di
sekitarnya yang tersangkut atau ada hubungannya dengan peranan tersebut,
terdapat hubungan yang diatur oleh nilai-nilai sosial yang diterima dan ditaati
kedua belah fihak. Nilai-nilai sosial tersebut misalnya nilai keagamaan antara
pemuka agama dengan pemeluk-pemeluk agama yang bersangkutan, nilai kesehatan
antara dokter dengan pasien, nilai ekonomi antara pedagang dengan pembeli.
Apabila hal itu tidak terpenuhi oleh individu yang bersangkutan, maka
terjadilah role-distance.
Pembahasan tentang berbagai macam peranan yang melekat
pada individu-individu dalam masyarakat dianggap penting karena didalamnya
memuat beberapa hal, yaitu (Kamanto, 2004):
1.
Bahwa peranan-peranan tertentu
harus dilaksanakan apabila struktur masyarakat hendak dipertahankan
keberlangsungannya
2.
Peranan tersebut seyogyanya dilekatkan pada
individu-individu yang oleh masyarakat dianggap mampu untuk melaksanakannya,
mereka harus terlebih dahulu dilatih dan mempunyai motivasi tinggi untuk
melaksanakannya.
3.
Dalam masyarakat kadang-kadang
dijumpai individu-individu yang tidak mampu melaksanakan peranannya sebagaimana
diharapkan oleh masyarakat, oleh karena mungkin pelaksanaannya memerlukan
pengorbanan yang dianggap terlalu besar berkaitan dengan
kepentingan-kepentingan pribadinya
4.
Apabila semua orang sanggup dan
mampu melaksanakan peranannya, belum tentu masyarakat akan dapat meberikan
peluang-peluang yang seimbang, bahkan sering kali terlihat bertapa masyarakat
terpaksa membatasi peluang-peluang tersebut.
2.5 Perlunya Sistem
Lapisan Masyarakat
Manusia pada umumnya bercita-citakan agar ada perbedaaan kedudukan
dan peranan dalam masyarakat, akan tetapi cita-cita itu akan selalu terbentur
dengan suatu kenyataan yag berlainan. Setiap masyarakat harus menempatkan
individu-individu pada tempat-tempat tertentu dalam struktur sosial dan
mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai akibat
penempatan tersebut. Dengan demikian, masyarakat menghadapi dua persoalan,
yaitu masalah penempatan individu-individu dan mendorong mereka agar
melaksanakan kewajibannya (Soekanto, 1990).
Apabila misalnya semua kewajiban tersebut selalu sesuai dengan
keinginan-keinginan si individu-individu, sesuai dengan kemampuan-kemampuan
individu-individu tersbut dan seterusnya makapersoalannya tidak akan terlalu
sulit untuk dilaksanakan. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian,
kedudukan-kedudukan dan peranan-peranan tertentu sering memerlukan kemampuannya
dan latihan-latihan tertentu, dan pentinganya kedudukan-kedudukan dan
peranan-peranan tersebut juga tidak selalu sama. Maka tidak akan dapat
dihindarkan lagi bahwa masyarakat harus menyediakan beberapa macam sistem
pembalasan jasa sebagai pendorong agar si individu mau melaksanakan
kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan posisinya dalam masyarakat.
Balas jasa tersebut dapat berupa insentif di bidang ekonomi, estetis
atau mungkin juga secara perlambang dan yang paling penting adalah bahwa
individu-individu tersebut mendapatkan hak-hak, yang merupakan himpunan
kewenangan-kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan atau untuk tidak
berbuat sesuatu. Sering pula ditemukan hak-hak yang secara tidak langsung
berhubungan dengan kedudukan dan peranan seseorang, akan tetapi hak-hak
tersebut sedikit banyaknya merupakan pendorong bagi si individu.Hak-hak
tersebut di lain fihak juga mendorong individu-individu untuk memperoleh
kedudukan-kedudukan dan peranan-peranan tertentu dalam masyarakat (Soekanto,
1990).
Dengan demikian, maka mau tidak mau ada sistem berlapis-lapis dalam
masyarakat, oleh karena gejala tersebut sekaligus memecahkan persoalan yang
dihadapi masyarakat yaitu penempatan individu dalam tempat-tempat yangtersedia
dalam dalamstruktursosial dan mendorong agar melaksanakan kewajiban yang sesuai
dengan kedudukan dan peranannya. Pengisisan tempat-tempat tersebut, merupakan
daya pendorong agar masyarakat bergerak sesuai adengan fungsinya. Akan tetapi
wujudnya dalam setiap masyarakat juga berlainan, karena hal itu tergantung pada
bentuk dan kebutuhan masing-masing masyarakat. Jelas bahwa kedudukan dan
peranan yang dianggap tinggi oleh setiap masyarakat adalah kedudukan dan
peranan yang dianggap terpenting serta memerlukan kemampuan dan latihan-latihan
yang maksimal.
Tidak banyak individu yang dapat memenuhi persyaratan demikian,
bahkan mungkin hanya segolongan kecil dalam masyarakat. Maka oleh sebab itu
pada umumnya warga lapisan atas (upper class) tidak terlalu banyak
apabila dibandingkan dengan lapisan menengah (middle class) dan lapisan
bawah (lower class), tidak mengherankan bila sistem pelapisan sosial ini
diwujudkan dalam bentuk gambar akan selalu berbentu kerucut, semakin ke atas
semakin runcing, menandakan, semakin atas suatu lapisan semakin sedikit orang
yang berkepentingan di sana (Soekanto, 1990).
2.6 Konsekuensi Dari Pelapisan Masyarakat
Perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan,
status atau perbedaan kelas sosial tidak Cuma mempengaruhi perbedaan dalam hal
gaya hidup dan tindakan, tetapi seperti ditulis Narwoko dan Suyanto (2006) juga
menimbulkan sejumlah perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti
peluang hidup dan kesehatan, peluang pekerjaan dan berusaha, respons terhadap
perubahan, pola sosialisasi dalam keluarga, dan perilaku politik
2.6.1 Gaya hidup
Gaya hidup (life style) yang ditampilkan antara kolas sosial satu dengan kolas sosial yang
lain dalam banyak hal tidak sama, bahkan ada kecenderungan masing-masing kolas
mencoba mengembangkan gaya hidup yang eksklusif untuk membedakan dirinya dengan
kolas yang iain. Berbeda dengan kolas sosial rendah yang umumnya bersikap
konservatif di bidang agama, moralitas, selera pakaian, selera makanan, cara baru
perawatan kesehatan, cara mendidik anak, dan hal-hal lainnya, gaya hidup dan
penampilan kolas sosial menengah dan atas umumnya lebih atraktif dan eksklusif
(Calvin, 1985). Mulai darii tutor kata, cara berpakaian, pilihan hiburan,
pemanfaatan waktu luang, pola berlibur, dan sebagainya, antara kolas satu
dengan kolas yang lain umumnya tidak sama.
Sebuah keluarga yang berasal
dari kolas atas, mereka biasanya akan cenderung memilih berlibur ke luar
negeri. Setiap bulan atau minimal setiap liburan semester anak-anaknya, mereka
akan menyempatkan waktu pergi ke Singapura, Australia, Hongkong, Amerika, atau
Eropa. Untuk keluarga yang berasal dari kolas menengah, tempat untuk berlibur
biasanya tidak di luar negeri, tetapi cukup di Bali, Lombok, Jogjakarta, atau Jakarta.
Sedangkan untuk keluarga kolas bawah, biasanya mereka hanya berlibur di
kota-kota terdekat yang hawanya lebih sejuk atau sekadar jalan-jalan ke pusat
perbelanjaan untuk menghabiskan waktu luang. Di kalangan keluarga yang benarbenar
miskin, mereka bahkan hanya mengisi waktu luang dengan menikmati tontonan
televisi di rumah atau sesekali pergi ke Kebun Binatang, THR, Pantai Kenjeran,
dan sebagainya.
Gaya hidup lain yang tidak
sama antara kelas sosial satu dengan yang lain adalah dalam hal berpakaian,
musik dan film. Atribut yang sifatnya massal dan dianggap berselera rendahan
contohnya pakaian kodian, misalnya biasanya selalu dihindari oleh orang-orang
yang secara ekonomi mapan atau berada. Bagi mereka, atribut yang dikenakan
adalah simbol status yang mencerminkan dan membedakan statusnya dari kelas
sosial lain yang lebih rendah. Di Indonesia, sering terjadi seseorang yang
merasa bagian dari kelas menengah atau kelas atas dalam banyak hal akan gengsi
atau malu bila disebut sebagai penggemar musik dangdut atau penonton setia
film India. Vonis masyarakat yang menempatkan musik dan film goyang pinggul
sebagai hiburan kacangan yang banyak diputar di daerah
pinggiran atau di desa–desa menyebabkan orang–orang dari kelas menengah dan
atas seolah merasa turun derajatnya bila dikategorikan sebagai salah satu penggemar
kedua hiburan ini.
Dalam memanfaatkan waktu luang di malam Minggu, film–film yang
banyak ditonton orang-orang dari kelas menengah ke atas biasanya adalah film–film
barat baru yang dibintangi o1eh. bintang–bintang Hollywood terkenal seperti
Tom Cruise, Tom Hank, Kevin Cotsner, Sharon Stone, Mat Dammon, J-Lo, Demi
Moore, dan sebagainya. Sedangkan musik yang banyak didengar adalah musik jazz
atau musik pop Barat yang seringkali ditayangkan di acara–acara televisi swasta, seperti MTV, Clear Top Ten, dan
sebagainya. Beberapa penyanyi yang menjadi pujaan kelas menengah, misalnya
adalah Britney Spears, Clay Aiken, J-Lo,
Michael Bolton, Michael Jackson, Mariah Carrey atau Whitney Houston (Narwoko dan Suyanto, 2006).
Sebagian orang kelas sosial bawah, memang terkadang mereka mencoba meniru–niru atribut yang dikenakan gaya hidup
kelas sosial di atasnya. Dalam pemilihan pakaian, sepatu atau jam tangan, misalnya
banyak kelas sosial rendah mencoba menirunya dengan cara membeli barang–barang
tiruan yang biasa dikenakan kelas menengah ke atas. Salah satu ciri dari kelas
sosial bawah adalah mereka seringkali mengapresiasi dan sejauh mungkin ingin tampil
seperti kelas sosial di atasnya. Jika orang–orang dari kelas atas rnemakai kaos
merek Hammer atau sepatu merek Nike, maka orang–orang dari kelas sosial bawah
akan mencoba menirunya dengan memakai kaos dengan merek yang sama tetapi
tiruan.
Demikian pula ketika orang–orang kaya memakai tas merek Braun
Buffel, Etienne Eigner, dan sejenisnya, maka sebagian orang yang berasal dari
kelas menengah ke bawah akan mencoba
menirunya dengan membeli tas "tembakan" buatan Korea atau Cina. Bagi
orang–orang yang belum berpengalaman dan dipandang sepintas kilas mereknya mungkin
terlihat sama. Namun, bila dipandang dari dekat, maka segera akan tampak bahwa
kedua barang yang dikenakan orang-orang yang berbeda status sosial itu sangat
jauh berbeda. Selera kalangan bawah yang umumnya lebih menyukai pakaian dengan
warna-warna mencolok dalam banyak hal juga semakin mengukuhkan adanya perbedaan
penampilann mereka dengan kelas sosial di atasnya (Narwoko dan Suyanto, 2006).
2.6.2
Peluang Hidup dan Kesehatan
Berbagai kajian yang dilakukan ahli sosiologi dan kependudukan telah
banyak menemukan kaitan antara stratifikasi sosial dengan peluang hidup dan
derajat kesehatan keluarga. Studi yang dilakukan Robert Chambers (1987),
misalnya, menemukan bahwa di lingkungan keluarga yang miskin, tidak
berpendidikan, dan rentan, mereka umumnya lemah jasmani dan mudah terserang
penyakit.
Sementara itu, studi yang dilakukan Brooks (1975) menemukan bahwa kecenderungan terjadinya kematian bayi ternyata
dipengaruhi oleh tinggi–rendahnya kelas sosial orang tua. Semakin tinggi kelas
sosial orang tua, semakin kecil kemungkinan terjadinya kematian bayi pada tahun
pertama. Di kalangan kaum ibu yang kurang berpendidikan, terjadinya kematian
bayi relatif lebih tinggi karena tinggi rendahnya pendidikan ibu erat
kaitannya dengan tingkat pengertiannya terhadap perawatan kesehatan, hygiene,
perlunya pemeriksaan keharnilan dan pasca persalinan, serta kesadarannya
terhadap kesehatan anak–anak. dan keluarganya
(Khiam, 1963).
Menurut studi yang dilakukan para ahli–Antonovsky (1972) dan Harkey
dkk. (1976) Sekurang–kurangnya ada dua faktor yang berinteraksi untuk
menghasilkan hubungan antara kelas sosial dengan kesehatan. Pertarna, para anggota kelas sosial yang lebih tinggi biasanya menikrnati
sanitas, tindakan-tindakan pencegahan serta perawatan medis yang lebih baik. Kedua, orang-orang yang mengidap penyakit kronis, status sosialnya lebih
cenderung untuk "meluncur" ke bawah dan sulit mengalami mobilitas
vertikal karena penyakitnya menghalangi mereka untuk rnernperoleh dan
mempertahankan berbagai pekerjaan (Soekanto, 1990).
Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika sebuah keluarga miskin
suatu saat kepala keluarga yang merupakan tenaga kerja produktif dan andalan
ekonomi keluarga tiba–tiba jatuh sakit hingga berhari–hari atau bahkan berminggu–minggu.
Berbeda dengan keluarga kelas menengah ke atas yang biasanya memiliki tabungan
yang cukup dan ikut asuransi kesehatan, keluarga–keluarga miskin yang bekerja
dengan upah harian, tatkala mereka jatuh sakit, maka akibat yang segera terjadi
biasanya adalah mereka terpaksa jatuh pada perangkap hutang dan pelan-pelan
satu per satu barang yang mereka miliki terpaksa dijual untuk menyambung hidup
(Suyanto, 2003). Dengan alasan tidak lagi ada uang yang tersisa, sering terjadi
keluarga miskin yang salah satu anggota keluarga sakit akan memilih mengobati
seadanya sering dengan cara tradisional, yang ironisnya justru membuat penyakit
yang mereka derita menjadi tak kunjung sembuh.
2.6.3
Respons Terhadap Perubahan
Setiap kali terjadi
proses perubahan, sudah barang tentu membutuhkan proses adaptasin dan bahkan
respons yang tepat dari warga masyarakat yang tengah berubah itu. Berbeda
dengan orang-orang yang berpendidikan dan berasal dari kelas atas, banyak
kajian telah membuktikan bahwa kelas sosial yang rendah sering kali merupakan
kelompok yang paling terlambat menerapkan kecenderungan baru, khususnya dalam
hal cara pengambilan keputusan. Orang–orang kelas sosial rendah umumnya ragu–ragu
untuk menerima pemikiran dan cara–cara baru serta curiga terhadap para pencipta
hal–hal baru. Studi yang dilakukan I.B Wirawan (1992) mengenai perilaku ber-KB
masyarakat desa, misalnya menernukan bahwa di kalangan petani miskin dan
berpendidikan rendah, mereka umumnya cenderung lebih lambat program KB mandiri
dari pada kelas sosial di atasnya (David, 1982)
Terbatasnya
pendidikan, kebiasaan membaca, dan pergaulan mengakibatkan kebanyakan orang–orang
kelas sosial rendah itu tidak mengetahui latar belakang pemikiran yang mendasari
berbagai program perubahan yang ditawarkan. Orang–orang kelas sosial rendah
umumnya mencurigai para ahli dari kalangan
kelas sosial menengah dan atas yang menunjang perubahan (Horton dan Hunt, 1991).
Kelas sosial atas sebagian
besar berpendidikan relatif cenderung lebih responsif terhadap ide–ide baru,
sehingga seringkali mereka lebih sering bisa memetik manfaat dengan cepat atas
program baru atau inovasi yang diketahuinya. Tawaran bantuan kredit atau benih–benih
pertanian baru misalnya, biasanya akan lebih cepat diadopsi kelas sosial
menengah ke atas dari pada kelas sosial bawah. James Scott, misalnya menyatakan
bahwa salah satu ciri yang menandai masyarakat desa yang miskin di Asia
Tenggara adalah keengganan untuk menempuh resiko atau lebih dikenal dengan
istilah prinsip safety first (dahulukan selamat). Petani–petani kecil, dalam banyak hal lebih
memilih menunggu dari pada segera merespons perubahan atau tawaran program
baru, karena bagi mereka kelangsungan hidup lebih penting dari pada melakukan
langkah–langkah terobosan yang belum jelas hasilnya (Narwoko dan Suyanto, 2006).
2.6.4
Peluang Bekerja dan Berusaha
Peluang bekerja dan
berusaha antara kelas sosial rendah dengan kelas sosial di atasnya umumnya jauh
berbeda. Dengan koneksi, kekuasaan, tingkat pendidikan yang tinggi dan uang
yang dimiliki, kelas sosial atas relatif lebih mudah membuka usaha atau mencari pekerjaan
yang sesuai dengan minatnya. Seseorang yang sejak keci.l telah diikutsertakan
dalam kursus Bahasa Inggris oleh orang tuanya yang kaya, tentu kemungkinan mereka
bersekolah di luar negeri lebih terbuka. Dengan menyandang gelar MBA atau MA
dari luar negeri, jelas kesernpatan mereka untuk bekerja di perusahaan besar
menjadi lebih besar.
Sementara itu, untuk
kelas sosial rendah, akibat belitan atau perangkap kemiskinan dan pendidikannya
yang rendah, mereka umumnya rentan., tidak berdaya dan kecil kemungkinan untuk
bisa memperoleh pekerjaan yang memadai atau kemungkinan melakukan diversifikasi
okupasi. Beberapa ahli seperti Sar A. Levitan atau Emit Salim, misalnyanya mendefinisikan
kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk
mencapai standar hidup yang layak atau kurangnya pendapatan untuk memenuhi
kebutuhan hidup minimal sehari-hari. Sedangkan yang dimaksud perangkap kemiskinan
pada dasarnya jauh lebilh kompleks. Kemiskinan sebagaimana didefinisikan
sebelumnya hanyalah salah satu dimensi dari perangkap kemiskinan. Selain kemiskinan,
menurut Robert Chambers (1987) unsur-unsur yang terkandung dalam perangkap
kemiskinan adalah kerentanan, kelemahan jasmani, ketidakberdayaan dan isolasi
perubahan (Horton dan Hunt, 1991).
Keluarga yang dibelit
perangkap kemiskinan seringkali tidak bisa ikut rneramaikan hasil pertumbuhan
ekonomi, rapuh, tidak atau sulit mengalami peningkatan kualitas kehidupan, dan
bahkan sering kali justru mengalami penurunan kualitas kehidupan. Kendati
orang-orang miskin telah sering memperoleh bantuan kredit permodalan-baik itu
lewat KUD, KUT, BRI Unit Desa, KURK, pegadaian dan sebagainya-tetapi pemberian
bantuan ekonomi itu tidak bisa menyelesaikan masalah kemiskinan secara tuntas.
Banyak bukti menunjukkan bahwa pemberian bantuan ekonomi saja ternyata justru
melahirkan problem-problem baru yang tidak kalah ruwetnya.
Kita telah melihat
banyak bukti bahwa di berbagai daerah tunggakan kredit terus meningkat dan ada
kecenderungan tidak bisa terbayar. Bantuan-bantuan kredit yang dimaksudkan
untuk membantu kegiatan produktif masyarakat, ternyata banyak yang dimanfaatkan
untuk kegiatan yang sifatnya konsumtif, terutama untuk makan sehari-hari. Tekanan
kebutuhan sehari-hari yang senantiasa mengancam dan kewajiban untuk menghidupi
anak dan belitan perangkap kemiskinan yang lain telah membuat golongan
masyarakat miskin sulit untuk mengembangkan usahanya (Narwoko dan Suyanto, 2006).
Jadi, masalahnya di
sini bukan karena golongan masyarakat miskin boros dan tidak memilikii etos
kewirausahaan yang baik. Tetapi, problem mendasarnya sesungguhnya adalah karena
mereka telah sedemikian rupa masuk dan terlilit perangkap kemiskinan yang parah.
Kita bisa membayangkan bagaimana mungkin golongan masyarakat miskin yang tidak
memiliki koneksi atau patront yang diharapkan bisa
membantu, buta hukum, tidak atau kurang berpendidilcan, dan lemah posisi
tawarnya (bargaining position-nya) bisa meningkatkan
taraf hidupnya bila lingkungan di sekitarnya tidak begitu ramah.
Pedagang kaki lima,
misalnya, bagaimana ia bisa menyisihkan sebagian keuntungannya jika secara
rutin terus diburu Tibum dan diharuskan rnembayar denda ilegal. Bagaimana pula
seorang petani atau nelayan bisa menikmati hasil produksinya jika setiap waktu
mereka selalu menjadi bahan permainan tengkulak atau pengijon yang berkuasa
menekan harga serendah-rendahnya.
Ketidakberdayaan dan
jauhnya kemungkinan golongan masyarakat miskin untuk memiliki akses terhadap
kekuasaan dalam banyak hal telah menyebabkan posisi mereka tetap rentan dan
sulit untuk berkembang. Berbeda dengan kelompok kelas menengah ke atas yang
relatif lebih banyak dan lebih mudah memperoleh fasilitas, kelompok masyarakat
miskin yang hidup marginal baik di perkotaan maupun di pedesaan umumnya condong
terabaikan, bahkan cenderung dianggap sebagai beban atau pengganggu ketertiban
dan dijadikan sasaran tindakan-tindakan koersif kelas sosial di atasnya-entah
berdasarkan pada hukum atau tidak.
2.6.5 Kebahagiaan dan Sosialisasi
dalam Keluarga
Berbagai studi yang
dilakukan para ahli Easterlin (1973) dan Cameron (1974) menemukan bahwa
kebahagiaan tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya cacat tubuh. Tidak pula
dipengaruhi oleh faktor usia. Dari semua faktor yang diteliti, kelas sosiallah
yang tanpaknya memiliki kaitan paling erat. Orang-orang kaya umumnya lebih
mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga lebih berkemungkinan untuk
merasa bahagia daripada orang-orang yang kurang berada (Horton dan Hunt, 1991).
Perselisihan dan
terjadinya tindak kekerasan di antara anggota keluarga yang satu dengan yang
lainnya di kalangan keluarga yang berada dalam banyak hal relatif kecil. Memang
benar bahwa tindakan kekerasan antara suami terhadap istri atau sebaliknya,
antara anak terhadap orang tuanya, serta antara orang tua kepada anak-anaknya
umumnya bisa saja terjadi di lingkungan keluarga dari setiap tingkat kelas
sosial baik itu keluarga yang kaya atau miskin maupun keluarga yang
berpendidikan atau tidak. Namun, tidak diingkari bahwa fenomena child abuse atau tindak kekerasan dalam keluarga yang lain cenderung lebih
sering terjadi dan dialami oleh keluarga-keluarga yang secara sosial-ekonomi
tergolong miskin dan rentan. Horton dan Hunt (1991) menyatakan bahwa tindak
kekerasan dalam keluarga probabilitasnya akan cenderung lebih besar dialami
oleh "keluarga-keluarga yang serbasusah".
Keluarga seperti ini
cenderung rnengalami kegagalan dalam melaksankan fungsi-fungsi dasar keluarga khususnya
fungsi afektif dan fungsi sosialisasi karena setiap harinya mereka masih harus
dipusingkan oleh kebutuhan perut yang tidak bisa ditunda-tunda 1agi. Keluarga
serbasusah adalah keluarga yang menghadapi berbagai macam masalah dan
kemiskinan yang mencekik. Gambaran seorang ayah dalam keluarga seperti ini
biasanya kasar, tidak berpendidikan, pengangguran, atau terjepit oleh pekerjaan
yang rendah dengan gaji yang rendah pula dan merupakan keturunan seorang bapak
yang kejam (Narwoko
dan Suyanto, 2006).
Pepatah yang mengatakan
bahwa “kekerasan akan menyebabkan kekerasan merupakan kebenaran yang sulit
disangkal”. Seorang anak yang dibesarkan dalam suasana keluarga yang
serbakekurangan dan penuh dengan tindak kekerasan, besar kemungkinan pada saat
ia sudah menikah kelak juga akan bersikap ringan tangan kepada suami atau
istrinya atau anak-anaknya. Ia akan enggan memberikan
kasih sayang dan perasaan cintanya kepada keluarganya karena dalam memorinya
hal seperti itu memang tidak pernah terlintas dibenaknya.
Studi yang dilakukan
Gelles (1979) membuktikan bahwa orang tua yang suka menyiksa anak banyak rnenunjukkan
sifat-sifat yang sama sebagian besar sering disiksa sewaktu kecil yang mempunyai
harapan yang tidak realistis terhadap perilaku anak, dan condong bereaksi kasar
bila anak mengecewakan mereka.
Dalam keluarga yang
tidak asing dengan tindak kekerasan, pihak yang biasanya paling banyak menjadi
korban adalah anak yang tidak diharapkan seperti anak hararn, anak tiri, anak
yang sakit-sakitan, anak yang rewel, atau anak yang menurut orang tuanya sulit
dinasihati dan dididik oleh orang tuanya. Dalam hal ini, anak seolah-olah menjadi
objek pelampiasan dari ketadakmampuan orangtua memenuhi kebutuhan ekonomi dan
meraih hal-hal lain yang diinginkannya.
2.6.6 Perilaku Politik
Berbagai studi
memperlihatkan bahwa kelas sosial mernengaruhi perilaku politik orang. Studi
yang dilakukan Erbe (1964), Hansen (1975), Kim, Petrocik, dan Enokson (1975)
menyimpulkan bahwa ; semakin tinggi kelas sosial semakin cenderung sang
individu mendaftarkan diri sebagai pemilih, memberikan suara, tertarik pada
politik, membahas soal-soal politik, menjadi anggota organisasi yang mempunyai
arti penting secara politis, dan berusaha memengaruhi pandangan politik orang lain (Narwoko dan Suyanto, 2006).
Di lingkungan orang
yang berpendidikan khususnya kalangan kelas menengah ditengarai tingkat
partisipasi politiknya tinggi daripada orang yang kurang berpendidikan karena
ada kaitannya dengan semakin tumbuhnya sikap kritis mereka. Intensitas
keterlibatan orang-orang berpendidikan dalam berbagai perkembanga informasi
yang disebarluaskan media massa adalah salah satu fakta yang menyebabkan
orang-orang yang berpendidikan bisa mengikuti diskusi masalah politik atau
bahkan ikut bermain di dalamnya. Kelas menengah dalam banyak hal juga sering
dipandang dan diharapkan berperan sebagai motor penggerak perubahan kendati
dalam kenyataan tak jarang kelas menengah justru mendukung status quo.
Kelas menengah yang
berafiliasi dan merasa karier politiknya tengah menanjak biasa akan cenderung
bersikap sama seperti kelas atas, yakni konservatif dan sama sekali jauh dari
sikap radikal yang biasanya menjadi karakteristik kelas bawah. Di lingkungan
komunitas di mana tekanan kemiskinan dan perlakuan yang tidak adil sering
terjadi dan dialami kelas bawah biasanya akan menyebabkan masyarakat kelas
bawah tersebut cenderung lebih menyukai perubahan daripada kelas yang telah
mapan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan tentang
pelapisan masyarakat dapat diambil yaitu :
1.
Selama dalam satu masyarakat
ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang
dihargainya, maka barang sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya
sistem pelapisan dalam masyarakat.
2.
Adanya sistem pelapisan
masyarakat dapat terjadi dengan sendiri dan juga dengan sengaja menyusun untuk
mengejar sesuatu tujuan bersama.
3.
Sifat sistem pelapisan
masyarakat dapat bersifat tertutup (closed
social stratification) dan terbuka (oven
social stratification). Sifat tertutup memungkinkan pindahnya seseorang
dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik gerak pindahnya itu ke atas atau
ke bawah. Di dalam sistem yang demikian, satu-satunya jalan untuk masuk menjadi
anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran.
4.
Status sosial yang dimiliki
seseorang akan tercermin dalam kehidupan sehari-hari seperti yang bisa dilihat
dari gaya hidup, kesehatan, keuangan, kebahagian dan pandangan politik yang
dimilikinya.
5.
Setiap masyarakat memilki
ukuran yang bisa menempatkan seseorang atau kelompok pada posisi masing-masing
dengan mengukur tingkat kekayaan, kekuasaan, kehormatan dan ilmu pengetahuan
yang dimilikinya.
3.2 Saran
a.
Stratifikasi bukanlah
penghalang bagi setiap orang untuk mengubah kepribadiannya.
b.
Jangan jadikan status sosial
yang disandang menyebabkan renggangnya dan putusnya persaudaraan.
c.
Diharapkan dengan status sosial
yang dimiliki bisa membantu sesama agar terhindari dari kebodohan dan
kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
Goldscheider, Calvin, 1985, Populasi, Modernisasi dan Struktur Sosial, Pusat Penelitian
Kependudukan, UGM, Yogyakarta.
Horton, Paul B., & Chester L. Hunt, 1991, Sosiologi, Edisi Enam (terjemahan),
Erlangga, Jakarta.
Khiam. Khoe soe, 1963, Sendi-sendi Sosiologi (Ilmu masyarakat), Ganaco, Bandung.
Lucas. David, 1982, Pengantar Kependudukan,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Narwoko. J.Dwi, Suyanto. Bagong., 2006, Sosiologi : Teks Pengantar dan Terapan,
Edisi kedua, Kencana Prenada media Group, Jakarta.
Ralph Linton, 1967, The Study of Man, An Introduction, Appleton Century, New York.
Roucek dan Warren, 1962, Sociology, An introduction, Littlefield, Adams & Co, Peterson –
New Jersey.
Selo Soemardjan., Soelaeman Soemardi, 1964, Setangkai Bunga Sosiologi, edisi
pertama, Yayasan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Soekanto, Soerjono.,1990. Sosiologi : Suatu Pengantar, Edisi keempat, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Sorokin. Pitirin A, 1959, Social and Cultural Mobility, The Free Press of Gleoncoe, London.
Sunarto, Kamanto. (2004). Pengantar Sosiologi,
Penerbitan : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.