Rabu, 16 November 2011

STRATIFIKASI SOSIAL (PELAPISAN MASYARAKAT)


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
            Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal yang lainnya. Kalau suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan material dari pada kehormatan, misalnya mereka yang mempunyai kekayaan material yang berlebih akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau kelompok dalam suatu kedudukan yang berbeda.
            Istilah lapisan masyarakat dalam pengetahuan sosial lebih dikenal dengan istilah Stratifikasi Sosial.  Stratifikasi berasal dari bahasa Inggris yaitu stratification, berasal dari kata strata atau stratum  yang berarti lapisan. Oleh sebab itu social stratification  sering diterjemahkan dengan istilah pelapisan masyarakat atau pelapisan sosial.
Pelapisan sosial terjadi dengan sendirinya dan dengan sengaja. Adapun orang – orang yang menduduki lapisan tertentu dibentuk bukan berdasarkan atas kesengajaan yang disusun sebelumnya oleh masyarakat itu tetapi berjalan secara alamiah dengan sendirinya. Oleh karena itu sifatnya yang tanpa disengaja akan membentuk pelapisan dan dasar dari pelapisan itu bervariasi menurut tempat, waktu dan kebudayaan masyarakat yang disengaja pelapisan yang disusun dengan ditunjukkan untuk mengejar tujuan bersama.
Beberapa pemikir tentang sosial tentang pelapisan ini muncul karena adanya ketidaksamaan status – status diantara individu – individu serta adanya ukuran tentang apa yang sangat dihargai dan dijadikan ukuran oleh masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Aristoteles (Yunani)  bahwa di dalam Negara terdapat tiga unsur yaitu mereka yang kaya sekali, yang melarat dan yang berada ditengah – tengahnya. Pitirim A. Sorokin (1959) pernah mengatakan bahwa sistem lapisan merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Seseorang atau kelompok yang memiliki sesuatu yang ia miliki sangat berharga dalam jumlah yang banyak akan dianggap masyarakat sebagai kelompok lapisan atas. Mereka yang hanya sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu yang berharga dalam pandang masyarakat mempunyai kedudukan yang lebih rendah.
Mereka yang memiliki uang banyak, akan mudah sekali mendapatkan tanah, kekuasaan dan kehormatan. Sedangkan mereka yang mempunyai kekuasaan besar, mudah menjadi kaya dan menguasai ilmu pengetahuan.  Semakin rumit dan semakin majunya teknologi dalam suatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem pelapisan yang terjadi.

1.2 Rumusan Masalah
            Pelapisan masyarakat dalam suatu wilayah merupakan suatu penomena yang tidak dapat dihindar baik secara langsung maupun tidak langsung. Didalam makalah ada beberapa rumusanmasalah untuk membahas pelapisan masyarakat di dalam kehidupan bermasyarakat. Rumusan masalah meliputi :
a.       Apa yang dimaksud dengan Stratifikasi masyarakat ?
b.      Bagaimana terjadinya pelapisan  masyarkat ?
c.       Bagaimana sifat sistem lapisan masyarakat yang terjadi di dalam masyarakat ?
d.      Unsur apasaja yang ada pada lapisan masyarakat
e.       Mengapa perlunya sistem lapisan masyarakat itu sendiri ?
f.       Bagaimana konsekuensi dari pelapisan masyarakat itu sendiri ?

1.3 Tujuan
            Dengan adanya mempelajiri pelapisan masyarakat (Stratifikasi sosial) diharapkan mahasiswa maupun masyarakat pada umum bisa memahami status yang dimilikinya untuk menghargai setiap individu yang ada. Agar tidak terjadi kesenjangan sosial yang menyebabkan munculnya konflik perpecahan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Stratifikasi Masyarakat           
            Pengaruh pelapisan sosial merupakan gejala umum yang dapat ditemukan disetiap masyarakat pada segala zaman. Betapapun sederhananya suatu masyarakat gejala ini pasti kita jumpai. Seperti adanya  orang  miskin, orang kaya, buruh, pengusaha, sarjana, tukang, dan sebagainya. Oleh karena status, baik yang berupa harta, kedudukan atau jabatan seringkali menciptakan perbedaan dalam menghargai seseorang. Dalam suatu masyarakat, orang yang memiliki harta berlimpah lebih dihargai daripada orang yang miskin. Demikian pula orang yang lebih berpendidikan dihargai lebih daripada yang kurang berpendidikan (Soekanto, 1990)..
Masyarakat sebenarnya telah mengenal pembagian atau pelapisan sosial sejak dahulu. Pada zaman dahulu, Aristoteles menyatakan bahwa didalam setiap negara selalu terdapat tiga unsur, yakni orang-orang kaya sekali, orang-orang melarat dan orang-orang yang berada di tengah-tengah. Menurut Aristoteles, orang-orang kaya sekali ditempatkan dalam lapisan atas oleh masyarakat, sedangkan orang – orang melarat ditempatkan dalam lapisan bawah, dan orang – orang di tengah ditempatkan dalam lapisan masyarakat menengah.
Beberapa definisi stratifikasi sosial :
a. Pitirim A. Sorokin
Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarki).
b. Max Weber
Stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, previllege dan prestise.
c. Cuber
Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai suatu pola yang ditempatkan di atas kategori dari hak-hak yang berbeda.
2.2 Terjadinya Pelapisan Masyarakat
            Terjadinya pelapisan dalam masyarakat itu karena adanya sistem penilaian atau penghargaan terhadap berbagai hal dalam masyarakat tersebut, berkenaan dengan potensi, kapasitas atau kemampuan manusia yang tidak sama satu dengan yang lain, dengan sendirinya sesuatu yang dianggap bernilai atau berharga itu juga menjadi keadaan yang langka, orang akan senantiasa meraih penghargaan itu dengan sekuat tenaga baik melalui persaingan bahkan tidak jarang dengan melalui konflik fisik (Soekanto, 1990).
Sekurangnya ada dua proses timbulnya pelapisan dalam masyarakat itu. Pertama terjadi dengan sendirinya dan kedua sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama.
Proses yang pertama, pelapisan sosial itu terjadi karena tingkat umur (age stratification), dalam sistem ini masing-masing anggota menurut klasifikasi umur mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda, untuk masyarakat tertentu, ada keistimewaan dari seorang anak sulung dimana dengan nilai-nilai sosial yang berlaku mereka mendapat prioritas dalam pewarisan atau kekuasaan. Azas senioritas yang ada dalam sistem pelapisan ini dijumpai pula dalam bidang pekerjaan, agaknya ada hubungan yang erat antara usia seorang karyawan dengan pangkat atau kedudukan yang ditempatinya. Ini terjadi karena dalam organisasi tersebut pada asasnya karyawan hanya dapat memperoleh kenaikan pangkat setelah berselang suatu jangka waktu tertentu – misalnya dua tahun atau empat tahun, karena jabatan dalam organisasi hanya dapat dipangku oleh karyawan yang telah mencapai suatu pangkat minimal tertentu dan karena dalam hal terdapat suatu lowongan jabatan baru, karyawan yang dipertimbangkan untuk mengisinya ialah mereka yang dianggap paling senior.
Walaupun tidak mutlak benar, faktor kepandaian atau kecerdasan (intellegentsia) pada umumnya masing dipakai sebagai tolok ukur untuk membedakan orang dengan orang lainnya; dikatakan tidak mutlak benar, karena dalam penelitian modern ternyata faktor kecerdasan ini tidak sekedar hanya bisa dibangkitkan, dikembangkan bahkan juga bisa ditingkatkan yaitu dengan melalui latihan-latihan tertentu sehingga kedua belah bagian otak kiri dan kanan terangsang untuk berfikir, kreatif secara benar (Soekanto, 1990).
Faktor kepandaian atau kecerdasan (Intellegentsia) seolah-olah memilah kelompok sekurangnya menjadi dua, yaitu orang-orang yang dianggap mempunyai kepandaian yang lebih dan orang-orang yang berkepandaian kurang, dalam istilah sehari-hari orang-orang yang kurang pandai ini dikatakan sebagai orang yang “susah mengingat-gampang lupa”. Kepandaian disini harus dibedakan dengan keterampilan, ada orang pandai tetapi tidak terampil, ada orang yang terampil tetapi tidak pandai, ada orang yang tidak pandai tetapi tidak terampil dan yang paling baik adalah orang yang pandai tetapi juga terampil (Ralph Linton, 1967).
Faktor ketidak sengajaan lainnya adalah kekerabatan, maksud kekerabatan disini adalah kedudukan orang perorangan terhadap kedekatannya dengan sumber kekerabatan itu. Biasanya faktor kekerabatan disini berhubungan dengan kedudukan dalam keluarga atau menyangkut sistem pewarisan. Semakin jauh hubungan kerabatnya maka semakin kecil kesempatan seseorang untuk menempati kedudukan tertentu dalam keluarga atau bahkan semakin kecil pula kesempatannya untuk memperoleh seperangkat fasilitas yang diwariskan oleh keluarganya. Tidak seluruh anggota keluarga dapat menjadi ketua adat pada salah satu keluarga Batak Toba misalnya, selama individu tersebut tidak memiliki akses kuat dalam keluarga yang bersangkutan, atau misalnya yang berlaku pada kelompok Dayak Iban di Kalimantan, atau banyak lagi kelompok-kelompok yang tersebar di belahan bumi Indonesia dengan orientasi kekerabatan yang masih kuat.
Bentuk lain dari sistem pelapisan yang terjadi dengan sendirinya adalah gender, fenomena ini walaupun tidak mutlak menentukan suatu pelapisan namun dalam beberapa hal juga menunjuk pada sistem itu. Sistem pewarisan pada beberapa masyarakat menunjukan kecenderungan bahwa laki-laki berhak mewarisi lebih dari perempuan atau dalam bidang pekerjaan, khususnya pada kehidupan masyarakat yang belum begitu modern, dominasi laki-laki terasa lebih kental dibandingkan dengan perempuan, partisipasi perempuan dalam dunia kerja relatif lebih terbatas dibandingkan dengan laki-laki para pekerja perempuan pun relatif lebih banyak terdapat di strata yang lebih rendah  dan sering menerima upah atau gaji yang lebih rendah dari laki-laki.
Proses yang kedua, yaitu sistem pelapisan yang sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama, disamping dibeda-bedakan berdasarkan status yang diperoleh, anggota masyarakat dibeda-bedakan pula berdasarkan status yang diraihnya, sehingga menghasilkan berbagai jenis stratifikasi. Salah satu diantaranya adalah stratifikasi berdasarkan pendidikan (educational stratification) bahwa hak dan kewajiban warga negara sering dibeda-bedakan atas dasar tingkat pendidikan formal yang berhasil mereka raih.
Sistem stratifikasi yang lain yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari ialah stratifikasi pekerjaan (occupational stratification). Di bidang pekerjaan modern kita mengenal berbagai klasifikasi yang mencerminkan stratifikasi pekerjaan, seperti misalnya perbedaan antara manager serta tenaga eksekutif dan tenaga administratif, buruh, antara tamtama, bintara, perwira pertama, perwira menengah, perwira tinggi. Kepala dinas, kepala bagian, kepala seksi, kepala koordinator dan sebagainya.
Stratifikasi ekonomi (economic stratification), yaitu pembedaan warga masyarakat berdasarkan penguasaan dan pemilikan materi, pun merupakan suatu kenyataan sehari-hari. Dalam kaitan ini kita mengenal, antara lain, perbedaan warga masyarakat berdasarkan penghasilan dan kekayaan merekamenjadi kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Dalam masyarakat kitaterdapat sejumlah besar warga yang tidak mampu memenuhi keperluan minimum manusia untuk hidup layak karena penghasilan dan miliknya sangat terbatas, tetapi ada pula warga yang seluruh kekayaan pribadinya bernilai puluhan miliar bahkan ratusan miliar rupiah. Di kalangan petani di pedesaan, kita menjumpai beberapa perbedaan antara petani pemilik tanah, petani penggarap dan buruh tani, yang mana masing-masing strata itu memiliki cara hidup tersendiri sesuai dengan kedudukan (ekonomi) nya dalam masyarakat.
Seperti yang telah diuaraikansebelumnya, bahwa ada pula sistem stratifikasi sosial yang dengan sengaja disusu unutk mengejar tujuan bersama; hal itu biasanya dilakukan terhadap pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formil, seperti misalnya pemerintahan, perusahaan, partai politik, angkatan bersenjata, atau perkumpulan. Kekuasaan dan wewenang itu merupakan suatu unsur yang khusus dalam sistem pelapisan dalam masyarakat, unsur mana mempunyai sifat yang lain daripada uang, tanah, dan sebagainya dapat terbagi secara bebas di antara anggota suatu masyarakat tanpa merusak keutuhan masyarakat itu.

2.3 Sifat Sistem Lapisan Masyarakat
Menurut Soekanto (1990) bahwa sifat sistem lapisan di dalam suatu masyarakat dapat dibagi dua yaitu bersifat tertutup (closed social stratification), terbuka (open social stratification).
a.       Bersifat tertutup, suatu keadaan yang membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan lainnya. Baik yang merupakan gerak ke atas atau ke bawah. Di dalam sistem yang demikian, satu-satunya jalan untuk menjadi anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran. Contoh:
-        Sistem kasta di India. Kaum Sudra tidak bisa pindah posisi naik di lapisan Brahmana.
-         Rasialis. Kulit hitam (negro) yang dianggap di posisi rendah tidak bisa pindah kedudukan di posisi kulit putih.
-        Feodal. Kaum buruh tidak bisa pindah ke posisi juragan/majikan.
Gambar 2.1 Sistem tertutup
b.      Sistem terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik kelapisan selanjutnya.  Contoh:
-        Seorang miskin karena usahanya bisa menjadi kaya, atau sebaliknya.
-        Seorang yang tidak/kurang pendidikan akan dapat memperoleh pendidikan asal ada niat dan usaha.
Gambar 2.2 Sistem tertutup

2.4 Unsur Lapisan Masyarakat
Selo Soemardjan (1964), seorang tokoh sosiologi Indonesia, menyatakan bahwa hal yang mewujudkan unsur-unsur dalam teori sosiologi tentang sistem lapisan masyarakat adalah kedudukan (status) dan peranan (role).  Sedangkan menurut Ralph Linton (1967), bahwa kedudukan dan peranan merupakan unsur-unsur baku dalam sistem lapisan masyarakat dan memiliki arti yang penting bagi sistem sosial masyarakat. mengartikan sistem sosial itu sebagai pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik antar individu dalam masyarakat dan antar individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku individu-individu tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal balik tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang penting, karena keberlangsungan hidup masyarakat tergantung daripada keseimbangan kepentingan kepentingan individu –individu termaksud. Untuk mendapatkan gambaran yang mendalam tentang kedudukan dan peranan ini akan dibicarakan tersendiri di bawah ini.
2.4.1 Kedudukan (status)
            Ada dua pengertian yang membedakan antara “kedudukan” (status), dengan “kedudukan social” (social status). Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok social yang berhubungan dengan orang-orang lainnya dalam kelompok tersebut atau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lainnya di dalam kelompok yang lebih besar lagi. Sedangkan Kedudukan sosial artinya adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya berhubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya (Roucek dan Warren, 1962).
Kedudukan sosial tidaklah semata-mata berarti kumpulan kedudukan-kedudukan seseorang dalam kelompok-kelompok yang berbeda, akan tetapi kedudukan-kedudukan sosial tersebut mempengaruhi kedudukan orang tadi dalam kelompok-kelompok sosial yang berbeda
Untuk lebih mudah mendapatkan pengertian, kedua istilah tersebut di atas akan dipergunakan dalam arti yang sama dan digambarkan dengan istilah ‘kedudukan’ (status) saja. Kedudukan, sebagaimana lazim dipergunakan, mempunyai dua arti :
a.    Secara abstrak, kedudukan berarti tempat seseorang dalam suatu pola tertentu; dengan demikian seseroang dikatakan memiliki beberapa kedudukan, oleh karena seseorang biasanya ikut serta dalam berbagai pola-pola kehidupan. Pengertian tersebut menunjukkan tempatnya sehubungan dengan kerangka masyarakat secara menyeluruh.
b.   Apabila dipisahkan dari individu yang memilikinya, kedudukan hanya merupakan kumpulan hak-hak dan kewajiban-kewajiban termaksud hanya dapat terlaksana melalui perantaraan individu-individu, maka agak sukar untuk memisahkannya secara tegas dan kaku. Hubungan antara individu dengan kedudukan, dapat diibaratkan sebagai hubungan pengemudi mobil dengan tempat atau kedudukan si pengemudi dengan mesin mobil tersebut; tempat mengemudi dengan mesin mobil tersebut; tempat mengemudi dengan segala alat untuk menjalankan mobil adalah alat-alat tetap yang penting untuk menjalankan serta mengendalikan mobil tersebut, pengemudi dapat berganti-ganti, yang mungkin akan dapat menjalankannya dengan lebih baik, atau bahkan lebih buruk (Ralph Linton, 1967).
Dalam masyarakat, sekurangnya ada tiga macam kedudukan, yaitu :
1. Ascribe status,
Yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan; kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran. Pada umumnya ascribe status dijumpai pada masyarakat-masyarakat dengan sistem pelapisan yang tertutup, atau masyarakat dimana sistem pelapisannya tergantung pada perbedaan rasil. Namun demikian, ascribe status juga ditemukan pada bentuk-bentuk masyarakat dengan sistem pelapisan yang terbuka; misalnya kedudukan laki-laki dalam satu keluarga, kedudukannya berbeda dengan kedudukan istri atau anak-anaknya; ascribe status disini walaupun tidak diperoleh atasdasar kelahiran, akan tetapi pada umumnya sang ayah atau suami adalah kepala keluarga batihnya. Untuk menjadi kepala keluarga batih tersebut, laki-laki tidak perlu mempunyai darah bangsawan atau kasta tertentu, sosok seorang ayah tetap saja sebagi kepala rumah tangga.

2. Achieved Status
Adalah kedudukan yang dicapai seseorang dengan usaha yang disengaja; kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran, akan tetapi bersifat terbuka bagi siapa saja hal mana tergantung dari kemampuannya masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya; seseorang yang ingin menjadi pemain bulu tangkis yang handal, tentunya harus berlatih bulu tangkis dengan tekun, seseroang yang ingin menjadi dokter, tentunya harus belajar kedokteran. Kecenderungan tercapainya achieved status ini bisanya ditemukan dalam bentuk-bentuk masyarakat dengan sistem pelapisan yang terbuka, hal ini bisa terjadi karena nilai-nilai dalam masyarakat memungkinkan untuk berlakunya tindakan-tindakan seperti itu. Anak seorang Rudy Hartono belum tentu akan menjadi pemain bulu tangkis yang handal, walaupun kalau hanya untuk sekedar menjadi juara RT mungkin bisa, sedangkan orang tua Rudi Hartono mungkin seorang pebulu tangkis tetapi prestasinya tidak sehebat anaknya.

3. Assigned Status
Satu bentuk kedudukan yang mempunyai hubungan erat dengan achieved status,yaitu kedudukan yang diberikan karena alasan-alasan tertentu; dalam arti bahwa suatu kelompok, golongan, atau masyarakat memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang dianggap berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatuuntuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Akan tetapi kadang-kadang kedudukan tersebut diberikan, karena seseorang telah lama menduduki suatu jabatan tertentu, seperti di pedesaan ada istilah ‘lurah hormat’ adalah satu gelar yang diberikan kepada seorang mantan pemuka desa yang dianggap sangat berjasa atas kemajuan desanya. Kedudukan yang diberikan ini diwujudkan dalam bentuk penghormatan gelar tertentu seperti ‘datuk’ pada masyarakat Sumatera Barat, ‘sir’ pada masyarakat Inggris, atau ‘andi’ pada masyarakat Makasar; Individu-individu yang mendapatkan kedudukan ini tidak dibebankan atas kewajiban-kewajiban menurut kedudukannya, namun mereka sedikitnya mendapakan fasilitas-fasilitas khusus yang tidak diberikan pada orang kebanyakan, di samping itu kedudukan ini tidak terbatas diberikan kepada anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan, tetapi bisa juga kepada orang luar masyarakat tersebut.
Telah kita fahami bahwa manusia itu hidup berkelompok, kalau mengacu pada teori Van der Zanden (1979), seorang individu bisa diidentifikasikan sebagai anggota ketegori statistik, kategori sosial, kelompok sosial, asosiasi, dan kerumunan, belum lagi bila dilihat dari aspek kepentingan maka seorang manusia itu bisa termasuk dalam beberapa kelompok kepentingan. Berkenaan dengan keberadaannya dalam kelompok-kelompok, maka tentu setiap orang tidak akan luput dari kedudukan-kedudukannya baik dalam lingkup persekutuan hidup yang kecil maupun dalam lingkup masyarakat yang lebih besar. Seorang bapak guru misalnya, selain kedudukannya sebagai guru dia juga termasuk kategori laki-laki dewasa, dia juga adalah anak dari kedua orang tuanya, mungkin juga selain guru dia dipercaya untuk mengelola urusan koperasi sekolah, atau mungkin juga dia aktif sebagai pengurus PGRI, atau mungkin juga dia sebagi ayah bagi anak-anaknya sekaligus sebagai suami dari istrinya, dan sebagainya.
Ada kalanya dari seperangkat kedudukan seseorang dalam masyarakat terjadi pertentangan-pertentangan berkaitan dengan kedudukannya itu, keadaan mana dalam istilah sosiologi disebut sebagai status konflik . misalnya bapak guru seperti di atas tadi, yang pada suatu saat harus menghukum seorang siswa yang melanggar aturan sekolah, dimana siswa tersebut adalah puteranya sendiri, atau seorang jaksa yagng harus menuntut anaknya sendiri karena melakukan tindak pidana, atau seorang petugas pajak yang harus memungut pajak penghasilannya sendiri. Konflik antar kedudukan-kedudukan tersebut tidak bisa dihindari berhubung kepentingan-kepentingan individu tidak selalu sesuai atau sejalan dengan kepentingan-kepentingan masyarakatnya, sehinggasering kali sulit bagi individu tersebut untuk mengatasinya dengan benar.
Kedudukan macam mana yang dimiliki seseorang atau kedudukan apa yang melekat padanya, dapat terlihat pada kehidupan sehari-harinya melalui ciri-ciri tertentu, yang dalam ilmu sosiologi dinamakan status symbol; ciri-ciri tersebut seolah-olah sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ada beberapa ciri tertentu yang dianggap sebagai status symbol, misalnya cara berpakaian, pergaulan, cara-cara mengisi waktu senggang, memilih tempat tinggal, berkendaraan, rekreasi, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang membedakannya dengan orang-orang kebanyakan. Status symbol ini tidak hanya melekat pada golongan atau lapisan tertentu saja, namun setiap lapisan biasanya mempunyai ciri-ciri tersendiri.
Satu bentuk penghargaan yang ada dalam masyarakat modern, khususnya pada masyarakat perkotaan di Indonesia, adalah tingkat penguasaan ilmu yaitu dalam bentuk gelar-gelar intelektual; seseorang yang memiliki gelar kesarjanaan tertentu setidaknya telah membuktikan bahwa yang memperolehnya telah memenuhi beberapa persyaratan tertentu dalam bidang-bidanang ilmu pengetahuan yang khusus. Hal ini menyebabkan terjadinya beberapa akibat yang negatif, antara lain bahwa, yang dikejar bukanlah ilmu pengetahuannya, akan tetapi gelar kesarjanaannya. Gelar tersebut kemudian menjadi status symbol tanpa menghiraukan bagaimana isi yang sesungguhnya; banyak dari mereka yang merasa malu karena tidak memiliki gelar kesarjanaan, padahal kedudukan mereka di dalam masyarakat telah terpandang; segala cara diupayakan untuk mendapatkan gelar itu tanpa memperdulikan lagi apakah kemudian mereka dapat mempertanggung jawabkan terhadap apa yang telah mereka upayakan itu.

2.4.2 Peranan (Role)
Peranan (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan, dimana apabila seseorang melaksanakan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang itu telah menjalankan suatu peran. Peranan dan kedudukan itu saling melengkapi, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan, oleh karena yang satu tergantung pada yang lain dan  demikian sebaliknya. Yang membedakan dari keduanya adalah menyangkut proses, harus ada kedudukan terlebih dahulu baru kemudian ada peranan, keadaan ini tidak bisa terbalik.
Setiap orang mempunyai bermacam-macam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya dan hal itu sekaligus berarti bahwa peranan tersebut menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan masyarakat kepadanya. Pentingnya peranan adalah bahwa hal itu mengatur perikelakuan seseorang, dan juga bahwa peranan menyebabkan seseorang pada batas-batas tertentu dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain, sehingga dengan demikian, orang yang bersangkutan akan dapat menyesuaikan perikelakuan sendiri dengan perikelakuan orang-orang sekelompoknya. Maka hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat, merupakan hubungan antara peranan-peranan individu-individu dalam masyarakat. Peranan-peranan tersebut diatur oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya norma-norma kesopanan yang menuntut seseorang untuk menyapa orang banyak dikala dia berjalan melintasinya, maka dia harus berlaku seperti itu, atau norma kesopanan yang mengatur sikap seorang penumpang terhadap orang lanjut usia di kendaraan umum, maka dia harus mendahulukan orang tua itu untuk duduk (Soerjono, 1990).

Sekurangnya suatu peranan itu mencakup tiga hal :
1.      Peranan adalah meliputi norma-norma yang dihubungakan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat; peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
2.      Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi
3.      Peranan juga dapat dikatakan sebagai perikelakuan individu yang penting bagi struktur sosial.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dikemukakan perihal fasilitas-fasilitas bagi peranan individu (role facilities); biasanya masyarakat memberikan fasilitas-fasilitas bagi individu agar dia dapat melaksanakan peranannya. Lembaga-lembaga masyarakat merupakan bagian masyarakat yang banyak menyediakan peluang-peluang untuk melaksanakan peranan. Kadang-kadang struktur suatu golongan kemasyarakatan, menyebabkan fasilitas-fasilitas tersebut bertambah; misalnya perubahan organisasi suatu sekolah yang memerlukan penambahan guru, pegawai administrasi, penjaga sekolah dan sebagainya. Akan tetapi sebaliknya, hal itu juga dapat mengurangi peluang-peluang, seperti misalnya apabila terpaksa diadakan rasionalisasi sebagai akibat perubahan struktur dan organisasi.
Agaknya pertentangan-pertentangan kedudukan (status conflict) membawa pengaruh terhadap peranan ini, karena tidak jarang terjadi suatu pemisahan antara individu dengan peranan yang sesungguhnya harus dilaksanakan (disebut sebagai role- distance) . Gejala tadi timbul apabila seseorang merasa tertekan karena dia merasa dirinya tidak sesuai untuk melaksanakan peranan yang diberikan masyarakat atau bahkan menyembunyikan dirinya, apabila dia berada dalam lingkungan sosial yang berbeda. Lingkungan sosial atau social circle adalah kelompok sosial dimana seseorang mendapat tempat serta kesempatan untuk melaksanakan peranannya. Setiap peranan bertujuan agar antara individu yang melaksanakan peranan dengan orang-orang di sekitarnya yang tersangkut atau ada hubungannya dengan peranan tersebut, terdapat hubungan yang diatur oleh nilai-nilai sosial yang diterima dan ditaati kedua belah fihak. Nilai-nilai sosial tersebut misalnya nilai keagamaan antara pemuka agama dengan pemeluk-pemeluk agama yang bersangkutan, nilai kesehatan antara dokter dengan pasien, nilai ekonomi antara pedagang dengan pembeli. Apabila hal itu tidak terpenuhi oleh individu yang bersangkutan, maka terjadilah role-distance.
Pembahasan tentang berbagai macam peranan yang melekat pada individu-individu dalam masyarakat dianggap penting karena didalamnya memuat beberapa hal, yaitu  (Kamanto, 2004):
1.      Bahwa peranan-peranan tertentu harus dilaksanakan apabila struktur masyarakat hendak dipertahankan keberlangsungannya
2.       Peranan tersebut seyogyanya dilekatkan pada individu-individu yang oleh masyarakat dianggap mampu untuk melaksanakannya, mereka harus terlebih dahulu dilatih dan mempunyai motivasi tinggi untuk melaksanakannya.
3.      Dalam masyarakat kadang-kadang dijumpai individu-individu yang tidak mampu melaksanakan peranannya sebagaimana diharapkan oleh masyarakat, oleh karena mungkin pelaksanaannya memerlukan pengorbanan yang dianggap terlalu besar berkaitan dengan kepentingan-kepentingan pribadinya
4.      Apabila semua orang sanggup dan mampu melaksanakan peranannya, belum tentu masyarakat akan dapat meberikan peluang-peluang yang seimbang, bahkan sering kali terlihat bertapa masyarakat terpaksa membatasi peluang-peluang tersebut.

2.5 Perlunya Sistem Lapisan Masyarakat
Manusia pada umumnya bercita-citakan agar ada perbedaaan kedudukan dan peranan dalam masyarakat, akan tetapi cita-cita itu akan selalu terbentur dengan suatu kenyataan yag berlainan. Setiap masyarakat harus menempatkan individu-individu pada tempat-tempat tertentu dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai akibat penempatan tersebut. Dengan demikian, masyarakat menghadapi dua persoalan, yaitu masalah penempatan individu-individu dan mendorong mereka agar melaksanakan kewajibannya (Soekanto, 1990).
Apabila misalnya semua kewajiban tersebut selalu sesuai dengan keinginan-keinginan si individu-individu, sesuai dengan kemampuan-kemampuan individu-individu tersbut dan seterusnya makapersoalannya tidak akan terlalu sulit untuk dilaksanakan. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian, kedudukan-kedudukan dan peranan-peranan tertentu sering memerlukan kemampuannya dan latihan-latihan tertentu, dan pentinganya kedudukan-kedudukan dan peranan-peranan tersebut juga tidak selalu sama. Maka tidak akan dapat dihindarkan lagi bahwa masyarakat harus menyediakan beberapa macam sistem pembalasan jasa sebagai pendorong agar si individu mau melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan posisinya dalam masyarakat. 
Balas jasa tersebut dapat berupa insentif di bidang ekonomi, estetis atau mungkin juga secara perlambang dan yang paling penting adalah bahwa individu-individu tersebut mendapatkan hak-hak, yang merupakan himpunan kewenangan-kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan atau untuk tidak berbuat sesuatu. Sering pula ditemukan hak-hak yang secara tidak langsung berhubungan dengan kedudukan dan peranan seseorang, akan tetapi hak-hak tersebut sedikit banyaknya merupakan pendorong bagi si individu.Hak-hak tersebut di lain fihak juga mendorong individu-individu untuk memperoleh kedudukan-kedudukan dan peranan-peranan tertentu dalam masyarakat (Soekanto, 1990).
Dengan demikian, maka mau tidak mau ada sistem berlapis-lapis dalam masyarakat, oleh karena gejala tersebut sekaligus memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat yaitu penempatan individu dalam tempat-tempat yangtersedia dalam dalamstruktursosial dan mendorong agar melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kedudukan dan peranannya. Pengisisan tempat-tempat tersebut, merupakan daya pendorong agar masyarakat bergerak sesuai adengan fungsinya. Akan tetapi wujudnya dalam setiap masyarakat juga berlainan, karena hal itu tergantung pada bentuk dan kebutuhan masing-masing masyarakat. Jelas bahwa kedudukan dan peranan yang dianggap tinggi oleh setiap masyarakat adalah kedudukan dan peranan yang dianggap terpenting serta memerlukan kemampuan dan latihan-latihan yang maksimal.
Tidak banyak individu yang dapat memenuhi persyaratan demikian, bahkan mungkin hanya segolongan kecil dalam masyarakat. Maka oleh sebab itu pada umumnya warga lapisan atas (upper class) tidak terlalu banyak apabila dibandingkan dengan lapisan menengah (middle class) dan lapisan bawah (lower class), tidak mengherankan bila sistem pelapisan sosial ini diwujudkan dalam bentuk gambar akan selalu berbentu kerucut, semakin ke atas semakin runcing, menandakan, semakin atas suatu lapisan semakin sedikit orang yang berkepentingan di sana (Soekanto, 1990).

2.6 Konsekuensi Dari Pelapisan Masyarakat
Perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan, status atau perbedaan kelas sosial tidak Cuma mempengaruhi perbedaan dalam hal gaya hidup dan tindakan, tetapi seperti ditulis Narwoko dan Suyanto (2006) juga menimbulkan sejumlah perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti peluang hidup dan kesehatan, peluang pekerjaan dan berusaha, respons terhadap perubahan, pola sosialisasi dalam keluarga, dan perilaku politik
2.6.1 Gaya hidup
Gaya hidup (life style) yang ditampilkan antara kolas sosial satu dengan kolas sosial yang lain dalam banyak hal tidak sama, bahkan ada kecenderungan masing-masing kolas mencoba mengembangkan gaya hidup yang eksklusif untuk membedakan dirinya dengan kolas yang iain. Berbeda dengan kolas sosial rendah yang umumnya bersikap konservatif di bidang agama, moralitas, selera pakaian, selera makanan, cara baru perawatan kesehatan, cara mendidik anak, dan hal-hal lainnya, gaya hidup dan penampilan kolas sosial menengah dan atas umumnya lebih atraktif dan eksklusif (Calvin, 1985). Mulai darii tutor kata, cara berpakaian, pilihan hiburan, pemanfaatan waktu luang, pola berlibur, dan sebagainya, antara kolas satu dengan kolas yang lain umumnya tidak sama.
Sebuah keluarga yang berasal dari kolas atas, mereka biasanya akan cenderung memilih berlibur ke luar negeri. Setiap bulan atau minimal setiap liburan semester anak-anaknya, mereka akan me­nyempatkan waktu pergi ke Singapura, Australia, Hongkong, Amerika, atau Eropa. Untuk keluarga yang berasal dari kolas menengah, tempat untuk berlibur biasanya tidak di luar negeri, tetapi cukup di Bali, Lombok, Jogjakarta, atau Jakarta. Sedangkan untuk keluarga kolas bawah, biasanya mereka hanya berlibur di kota-kota terdekat yang hawanya lebih sejuk atau sekadar jalan-jalan ke pusat perbelanjaan untuk menghabiskan waktu luang. Di kalangan keluarga yang benar­benar miskin, mereka bahkan hanya mengisi waktu luang dengan menikmati tontonan televisi di rumah atau sesekali pergi ke Kebun Binatang, THR, Pantai Kenjeran, dan sebagainya.
Gaya hidup lain yang tidak sama antara kelas sosial satu dengan yang lain adalah dalam hal berpakaian, musik dan film. Atribut yang sifatnya massal dan dianggap berselera rendahan contohnya pakaian kodian, misalnya ­biasanya selalu dihindari oleh orang-orang yang secara ekonomi mapan atau berada. Bagi mereka, atribut yang dikenakan adalah simbol status yang mencerminkan dan membedakan statusnya dari kelas sosial lain yang lebih rendah. Di Indonesia, sering terjadi se­seorang yang merasa bagian dari kelas menengah atau kelas atas dalam banyak hal akan gengsi atau malu bila disebut sebagai peng­gemar musik dangdut atau penonton setia film India. Vonis masyarakat yang menempatkan musik dan film goyang pinggul sebagai hiburan kacangan yang banyak diputar di daerah pinggiran atau di desa­–desa menyebabkan orang–orang dari kelas menengah dan atas seolah merasa turun derajatnya bila dikategorikan sebagai salah satu peng­gemar kedua hiburan ini.
Dalam memanfaatkan waktu luang di malam Minggu, film­–film yang banyak ditonton orang-orang dari kelas menengah ke atas biasanya adalah film–film barat baru yang dibintangi o1eh. bintang­–bintang Hollywood terkenal seperti Tom Cruise, Tom Hank, Kevin Cotsner, Sharon Stone, Mat Dammon, J-Lo, Demi Moore, dan sebagainya. Sedangkan musik yang banyak didengar adalah musik jazz atau musik pop Barat yang seringkali ditayangkan di acara–acara televisi  swasta, seperti MTV, Clear Top Ten, dan sebagainya. Beberapa penyanyi yang menjadi pujaan kelas menengah, misalnya adalah Britney Spears, Clay Aiken,     J-Lo, Michael Bolton, Michael Jackson, Mariah Carrey atau Whitney Houston (Narwoko dan Suyanto, 2006).
Sebagian orang kelas sosial bawah, memang terkadang mereka mencoba  meniru–niru atribut yang dikenakan gaya hidup kelas sosial di atasnya. Dalam pemilihan pakaian, sepatu atau jam tangan, misalnya banyak kelas sosial rendah mencoba menirunya dengan cara membeli barang–barang tiruan yang biasa dikenakan kelas menengah ke atas. Salah satu ciri dari kelas sosial bawah adalah mereka seringkali mengapresiasi dan sejauh mungkin ingin tampil seperti kelas sosial di atasnya. Jika orang–orang dari kelas atas rnemakai kaos merek Hammer atau sepatu merek Nike, maka orang–orang dari kelas sosial bawah akan mencoba menirunya dengan memakai kaos dengan merek yang sama tetapi tiruan.
Demikian pula ketika orang–orang kaya memakai tas merek Braun Buffel, Etienne Eigner, dan sejenisnya, maka sebagian orang yang berasal dari kelas  menengah ke bawah akan mencoba menirunya dengan membeli tas "tembakan" buatan Korea atau Cina. Bagi orang–orang yang belum berpengalaman dan dipandang sepintas kilas mereknya mungkin terlihat sama. Namun, bila dipandang dari dekat, maka segera akan tampak bahwa kedua barang yang dikenakan orang-orang yang berbeda status sosial itu sangat jauh berbeda. Selera kalangan bawah yang umumnya lebih menyukai pakaian dengan warna-warna mencolok dalam banyak hal juga semakin mengukuhkan adanya perbedaan penampilann mereka dengan kelas sosial di atasnya (Narwoko dan Suyanto, 2006).

2.6.2 Peluang Hidup dan Kesehatan
Berbagai kajian yang dilakukan ahli sosiologi dan kependudukan telah banyak menemukan kaitan antara stratifikasi sosial dengan peluang hidup dan derajat kesehatan keluarga. Studi yang dilakukan Robert Chambers (1987), misalnya, menemukan bahwa di lingkungan keluarga yang miskin, tidak berpendidikan, dan rentan, mereka umumnya lemah jasmani dan mudah terserang penyakit.
Sementara itu, studi yang dilakukan Brooks (1975) menemukan bahwa kecenderungan terjadinya kematian bayi ternyata dipengaruhi oleh tinggi–rendahnya kelas sosial orang tua. Semakin tinggi kelas sosial orang tua, semakin kecil kemungkinan terjadinya kematian bayi pada tahun pertama. Di kalangan kaum ibu yang kurang ber­pendidikan, terjadinya kematian bayi relatif lebih tinggi karena tinggi­ rendahnya pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengertian­nya terhadap perawatan kesehatan, hygiene, perlunya pemeriksaan keharnilan dan pasca persalinan, serta kesadarannya terhadap kesehat­an anak–anak. dan keluarganya (Khiam, 1963).
Menurut studi yang dilakukan para ahli–Antonovsky (1972) dan Harkey dkk. (1976) Sekurang–kurangnya ada dua faktor yang berinteraksi untuk menghasilkan hubungan antara kelas sosial dengan kesehatan. Pertarna, para anggota kelas sosial yang lebih tinggi biasanya menikrnati sanitas, tindakan-tindakan pencegahan serta perawatan medis yang lebih baik. Kedua, orang-orang yang mengidap penyakit kronis, status sosialnya lebih cenderung untuk "meluncur" ke bawah dan sulit mengalami mobilitas vertikal karena penyakitnya meng­halangi mereka untuk rnernperoleh dan mempertahankan berbagai pekerjaan (Soekanto, 1990).
Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika sebuah keluarga miskin suatu saat kepala keluarga yang merupakan tenaga kerja produktif dan andalan ekonomi keluarga tiba–tiba jatuh sakit hingga berhari–hari atau bahkan berminggu–minggu. Berbeda dengan keluarga kelas menengah ke atas yang biasanya memiliki tabungan yang cukup dan ikut asuransi kesehatan, keluarga–keluarga miskin yang bekerja dengan upah harian, tatkala mereka jatuh sakit, maka akibat yang segera terjadi biasanya adalah mereka terpaksa jatuh pada perangkap hutang dan pelan-pelan satu per satu barang yang mereka miliki terpaksa dijual untuk menyambung hidup (Suyanto, 2003). Dengan alasan tidak lagi ada uang yang tersisa, sering terjadi keluarga miskin yang salah satu anggota keluarga sakit akan memilih mengobati seadanya sering dengan cara tradisional, yang ironisnya justru membuat penyakit yang mereka derita menjadi tak kunjung sembuh.


2.6.3 Respons Terhadap Perubahan
Setiap kali terjadi proses perubahan, sudah barang tentu membutuh­kan proses adaptasin dan bahkan respons yang tepat dari warga masyarakat yang tengah berubah itu. Berbeda dengan orang-orang yang berpendidikan dan berasal dari kelas atas, banyak kajian telah membuktikan bahwa kelas sosial yang rendah sering kali merupa­kan kelompok yang paling terlambat menerapkan kecenderungan baru, khususnya dalam hal cara pengambilan keputusan. Orang–orang kelas sosial rendah umumnya ragu–ragu untuk menerima pemikiran dan cara–cara baru serta curiga terhadap para pencipta hal–hal baru. Studi yang dilakukan I.B Wirawan (1992) mengenai perilaku ber-KB masyarakat desa, misalnya menernukan bahwa di kalangan petani miskin dan berpendidikan rendah, mereka umumnya cenderung lebih lambat program KB mandiri dari pada kelas sosial di atasnya (David, 1982)
Terbatasnya pendidikan, kebiasaan membaca, dan pergaulan mengakibatkan kebanyakan orang–orang kelas sosial rendah itu tidak mengetahui  latar belakang pemikiran yang mendasari berbagai program perubahan yang ditawarkan. Orang–orang kelas sosial rendah umumnya mencurigai para ahli dari  kalangan kelas sosial menengah dan atas yang menunjang perubahan (Horton dan Hunt, 1991).
Kelas sosial atas sebagian besar berpendidikan relatif cenderung lebih responsif terhadap ide–ide baru, sehingga seringkali mereka lebih sering bisa memetik manfaat dengan cepat atas program baru atau inovasi yang diketahuinya. Tawaran bantuan kredit atau benih–benih pertanian baru misalnya, biasanya akan lebih cepat diadopsi kelas sosial menengah ke atas dari pada kelas sosial bawah. James Scott, misalnya menyatakan bahwa salah satu ciri yang menandai masyarakat desa yang miskin di Asia Tenggara adalah keengganan untuk menempuh resiko atau lebih dikenal dengan istilah prinsip safety first (dahulukan selamat). Petani–petani kecil, dalam banyak hal lebih memilih menunggu dari pada segera merespons perubahan atau tawaran program baru, karena bagi mereka kelangsungan hidup lebih penting dari pada melakukan langkah–­langkah terobosan yang belum jelas hasilnya (Narwoko dan Suyanto, 2006).
2.6.4 Peluang Bekerja dan Berusaha
Peluang bekerja dan berusaha antara kelas sosial rendah dengan kelas sosial di atasnya umumnya jauh berbeda. Dengan koneksi, kekuasaan, tingkat pendidikan yang tinggi dan uang yang dimiliki, kelas sosial atas relatif lebih  mudah membuka usaha atau mencari pekerjaan yang sesuai dengan minatnya. Seseorang yang sejak keci.l telah diikutsertakan dalam kursus Bahasa Inggris oleh orang tuanya yang kaya, tentu kemungkinan mereka bersekolah di luar negeri lebih terbuka. Dengan menyandang gelar MBA atau MA dari luar negeri, jelas kesernpatan mereka untuk bekerja di perusahaan besar menjadi lebih besar.
Sementara itu, untuk kelas sosial rendah, akibat belitan atau perangkap kemiskinan dan pendidikannya yang rendah, mereka umumnya rentan., tidak berdaya dan kecil kemungkinan untuk bisa memperoleh pekerjaan yang memadai atau kemungkinan melakukan diversifikasi okupasi. Beberapa ahli seperti Sar A. Levitan atau Emit Salim, misalnyanya mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak atau kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal sehari-hari. Sedangkan yang dimaksud perangkap kemiskinan pada dasarnya jauh lebilh kompleks. Kemiskinan sebagaimana didefinisikan sebelumnya hanyalah salah satu dimensi dari perangkap kemiskinan. Selain kemiskinan, menurut Robert Chambers (1987) unsur-unsur yang terkandung dalam perangkap kemiskinan adalah kerentanan, kelemahan jasmani, ketidakberdayaan dan isolasi perubahan (Horton dan Hunt, 1991).
Keluarga yang dibelit perangkap kemiskinan seringkali tidak bisa ikut rneramaikan hasil pertumbuhan ekonomi, rapuh, tidak atau sulit mengalami peningkatan kualitas kehidupan, dan bahkan sering kali justru mengalami penurunan kualitas kehidupan. Kendati orang-orang miskin telah sering memperoleh bantuan kredit permodal­an-baik itu lewat KUD, KUT, BRI Unit Desa, KURK, pegadaian dan sebagainya-tetapi pemberian bantuan ekonomi itu tidak bisa menyelesaikan masalah kemiskinan secara tuntas. Banyak bukti menunjukkan bahwa pemberian bantuan ekonomi saja ternyata justru melahirkan problem-problem baru yang tidak kalah ruwetnya.
Kita telah melihat banyak bukti bahwa di berbagai daerah tung­gakan kredit terus meningkat dan ada kecenderungan tidak bisa terbayar. Bantuan-bantuan kredit yang dimaksudkan untuk membantu kegiatan produktif masyarakat, ternyata banyak yang dimanfaatkan untuk kegiatan yang sifatnya konsumtif, terutama untuk makan sehari-hari. Tekanan kebutuhan sehari-hari yang senantiasa meng­ancam dan kewajiban untuk menghidupi anak dan belitan perangkap kemiskinan yang lain telah membuat golongan masyarakat miskin sulit untuk mengembangkan usahanya (Narwoko dan Suyanto, 2006).
Jadi, masalahnya di sini bukan karena golongan masyarakat miskin boros dan tidak memilikii etos kewirausahaan yang baik. Tetapi, problem mendasarnya sesungguhnya adalah karena mereka telah sedemikian rupa masuk dan terlilit perangkap kemiskinan yang parah. Kita bisa membayangkan bagaimana mungkin golongan masyarakat miskin yang tidak memiliki koneksi atau patront yang diharapkan bisa membantu, buta hukum, tidak atau kurang berpendidilcan, dan lemah posisi tawarnya (bargaining position-nya) bisa meningkatkan taraf hidupnya bila lingkungan di sekitarnya tidak begitu ramah.
Pedagang kaki lima, misalnya, bagaimana ia bisa menyisihkan sebagian keuntungannya jika secara rutin terus diburu Tibum dan diharuskan rnembayar denda ilegal. Bagaimana pula seorang petani atau nelayan bisa menikmati hasil produksinya jika setiap waktu mereka selalu menjadi bahan permainan tengkulak atau pengijon yang berkuasa menekan harga serendah-rendahnya.
Ketidakberdayaan dan jauhnya kemungkinan golongan masya­rakat miskin untuk memiliki akses terhadap kekuasaan dalam banyak hal telah menyebabkan posisi mereka tetap rentan dan sulit untuk berkembang. Berbeda dengan kelompok kelas menengah ke atas yang relatif lebih banyak dan lebih mudah memperoleh fasilitas, kelompok masyarakat miskin yang hidup marginal baik di perkotaan maupun di pedesaan umumnya condong terabaikan, bahkan cenderung dianggap sebagai beban atau pengganggu ketertiban dan dijadikan sasaran tindakan-tindakan koersif kelas sosial di atasnya-entah berdasarkan pada hukum atau tidak.

2.6.5 Kebahagiaan dan Sosialisasi dalam Keluarga
Berbagai studi yang dilakukan para ahli Easterlin (1973) dan Cameron (1974) menemukan bahwa kebahagiaan tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya cacat tubuh. Tidak pula dipengaruhi oleh faktor usia. Dari semua faktor yang diteliti, kelas sosiallah yang tanpaknya memiliki kaitan paling erat. Orang-orang kaya umumnya lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga lebih berkemungkinan untuk merasa bahagia daripada orang-orang yang kurang berada (Horton dan Hunt, 1991).
Perselisihan dan terjadinya tindak kekerasan di antara anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya di kalangan keluarga yang berada dalam banyak hal relatif kecil. Memang benar bahwa tindakan kekerasan antara suami terhadap istri atau sebaliknya, antara anak terhadap orang tuanya, serta antara orang tua kepada anak-anaknya umumnya bisa saja terjadi di lingkungan keluarga dari setiap tingkat kelas sosial baik itu keluarga yang kaya atau miskin maupun keluarga yang berpendidikan atau tidak. Namun, tidak diingkari bahwa fenomena child abuse atau tindak kekerasan dalam keluarga yang lain cenderung lebih sering terjadi dan dialami oleh keluarga­-keluarga yang secara sosial-ekonomi tergolong miskin dan rentan. Horton dan Hunt (1991) menyatakan bahwa tindak kekerasan dalam keluarga probabilitasnya akan cenderung lebih besar dialami oleh "keluarga-keluarga yang serbasusah".
Keluarga seperti ini cenderung rnengalami kegagalan dalam melaksankan fungsi-fungsi dasar keluarga khususnya fungsi afektif dan fungsi sosialisasi karena setiap harinya mereka masih harus dipusingkan oleh kebutuhan perut yang tidak bisa ditunda-tunda 1agi. Keluarga serbasusah adalah keluarga yang menghadapi berbagai macam masalah dan kemiskinan yang mencekik. Gambaran seorang ayah dalam keluarga seperti ini biasanya kasar, tidak berpendidikan, pengangguran, atau terjepit oleh pekerjaan yang rendah dengan gaji yang rendah pula dan merupakan keturunan seorang bapak yang kejam (Narwoko dan Suyanto, 2006).
Pepatah yang mengatakan bahwa “kekerasan akan menyebabkan kekerasan merupakan kebenaran yang sulit disangkal”. Seorang anak yang dibesarkan dalam suasana keluarga yang serbakekurangan dan penuh dengan tindak kekerasan, besar kemungkinan pada saat ia sudah menikah kelak juga akan bersikap ringan tangan kepada suami atau istrinya  atau anak-anaknya. Ia akan enggan memberikan kasih sayang dan perasaan cintanya kepada keluarganya karena dalam memorinya hal seperti itu memang tidak pernah terlintas dibenaknya.
Studi yang dilakukan Gelles (1979) membuktikan bahwa orang tua yang suka menyiksa anak banyak rnenunjukkan sifat-sifat yang sama sebagian besar sering disiksa sewaktu kecil yang mempunyai harapan yang tidak realistis terhadap perilaku anak, dan condong bereaksi kasar bila anak mengecewakan mereka.
Dalam keluarga yang tidak asing dengan tindak kekerasan, pihak yang biasanya paling banyak menjadi korban adalah anak yang tidak diharapkan seperti anak hararn, anak tiri, anak yang sakit-sakitan, anak yang rewel, atau anak yang menurut orang tuanya sulit dinasihati dan dididik oleh orang tuanya. Dalam hal ini, anak seolah-olah menjadi objek pelampiasan dari ketadakmampuan orangtua memenuhi kebutuhan ekonomi dan meraih hal-hal lain yang diinginkannya.

2.6.6 Perilaku Politik
Berbagai studi memperlihatkan bahwa kelas sosial mernengaruhi perilaku politik orang. Studi yang dilakukan Erbe (1964), Hansen (1975), Kim, Petrocik, dan Enokson (1975) menyimpulkan bahwa ; semakin tinggi kelas sosial semakin cenderung sang individu mendaftarkan diri sebagai pemilih, memberikan suara, tertarik pada politik, membahas soal-soal politik, menjadi anggota organisasi yang mempunyai arti penting secara politis, dan berusaha memengaruhi  pandangan politik orang lain (Narwoko dan Suyanto, 2006).
Di lingkungan orang yang berpendidikan khususnya kalangan kelas menengah ditengarai tingkat partisipasi politiknya tinggi daripada orang yang kurang berpendidikan karena ada kaitannya dengan semakin tumbuhnya sikap kritis mereka. Intensitas keterlibatan orang-orang berpendidikan dalam berbagai perkembanga informasi yang disebarluaskan media massa adalah salah satu fakta yang menyebabkan orang-orang yang berpendidikan bisa mengikuti diskusi masalah politik atau bahkan ikut bermain di dalamnya. Kelas menengah dalam banyak hal juga sering dipandang dan diharapkan berperan sebagai motor penggerak perubahan kendati dalam kenyataan tak jarang kelas menengah justru mendukung status quo.
Kelas menengah yang berafiliasi dan merasa karier politiknya tengah menanjak biasa akan cenderung bersikap sama seperti kelas atas, yakni konservatif dan sama sekali jauh dari sikap radikal yang biasanya menjadi karakteristik kelas bawah. Di lingkungan komunitas di mana tekanan kemiskinan dan perlakuan yang tidak adil sering terjadi dan dialami kelas bawah biasanya akan menyebabkan masyarakat kelas bawah tersebut cenderung lebih menyukai perubahan daripada kelas yang telah mapan.



BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
            Dari pembahasan tentang pelapisan masyarakat dapat diambil yaitu :
1.      Selama dalam satu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka barang sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem pelapisan dalam masyarakat.
2.      Adanya sistem pelapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendiri dan juga dengan sengaja menyusun untuk mengejar sesuatu tujuan bersama.
3.      Sifat sistem pelapisan masyarakat dapat bersifat tertutup (closed social stratification) dan terbuka (oven social stratification). Sifat tertutup memungkinkan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik gerak pindahnya itu ke atas atau ke bawah. Di dalam sistem yang demikian, satu-satunya jalan untuk masuk menjadi anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran.
4.      Status sosial yang dimiliki seseorang akan tercermin dalam kehidupan sehari-hari seperti yang bisa dilihat dari gaya hidup, kesehatan, keuangan, kebahagian dan pandangan politik yang dimilikinya.
5.      Setiap masyarakat memilki ukuran yang bisa menempatkan seseorang atau kelompok pada posisi masing-masing dengan mengukur tingkat kekayaan, kekuasaan, kehormatan dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

3.2 Saran
a.       Stratifikasi bukanlah penghalang bagi setiap orang untuk mengubah kepribadiannya.
b.      Jangan jadikan status sosial yang disandang menyebabkan renggangnya dan putusnya persaudaraan.
c.       Diharapkan dengan status sosial yang dimiliki bisa membantu sesama agar terhindari dari kebodohan dan kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA


Goldscheider, Calvin, 1985, Populasi, Modernisasi dan Struktur Sosial, Pusat Penelitian Kependudukan, UGM, Yogyakarta.

Horton, Paul B., & Chester L. Hunt, 1991, Sosiologi, Edisi Enam (terjemahan), Erlangga, Jakarta.

Khiam. Khoe soe, 1963, Sendi-sendi Sosiologi (Ilmu masyarakat), Ganaco, Bandung.

Lucas. David, 1982, Pengantar Kependudukan,  Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Narwoko. J.Dwi, Suyanto. Bagong., 2006, Sosiologi : Teks Pengantar dan Terapan, Edisi kedua, Kencana Prenada media Group, Jakarta.

Ralph Linton, 1967, The Study of Man, An Introduction, Appleton Century, New York.

Roucek dan Warren, 1962, Sociology, An introduction, Littlefield, Adams & Co, Peterson – New Jersey.

Selo Soemardjan., Soelaeman Soemardi, 1964, Setangkai Bunga Sosiologi, edisi pertama, Yayasan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Soekanto, Soerjono.,1990. Sosiologi : Suatu Pengantar, Edisi keempat, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sorokin. Pitirin A, 1959, Social and Cultural Mobility, The Free Press of Gleoncoe, London.

Sunarto, Kamanto. (2004). Pengantar Sosiologi, Penerbitan : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.